Penolakan Jokowi Ikut Konvensi
Oleh : Navarin Karim
Kemunculan Joko Widodo (Jokowi) dengan elektabilitas tertinggi dibandingkan tokoh lainnya menghidupkan persaingan dalam bursa calon Presiden tahun 2014. Namun penyebab Jokowi begitu populernya tidak lain karena jasa media massa dan elektronik. Dimana media selalu menampilkan/menayangkan beberapa gebrakan keberhasilan beliau.
Selain itu juga media menampilkan perilaku egaliter beliau dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat. Bahkan gaya egaliter dan blusukan beliau yang tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh birokrat maupun pejabat politik hingga mau-maunya turun ke bawah polongan air tidak luput menjadi sorotan media. Ini dilakukannya untuk mencari solusi mengatasi banjir di depan istana negara. Bagus, tapi terkesan kurang elegance karena tidak menggunakan cara-cara manajemen. Menurut penulis, beliau tidak perlu turun, minta staf turun kepolongan dan diminta laporannya saat itu. Beliau tetap berada diatas, untuk mengetahui apakah stafnya benar-benar turun atau tidak. Bukankah seorang yang paham manajemen akan menggunakan cara bagaimana menggerakkan dan mengerahkan segenap fasilitas yang ada? Soal keluguan dan kepolosan penulis masih bersifat skeptic, karena unsur pencitraan diri juga berbaur disana. Jika benar-benar beliau lugu dan polos kenapa beliau mau-maunya menjadi vote getter dalam beberapa pemilukada di propinsi/kabupaten. Jadi jargon keluguan, kesederhanaan dan kepolosan inilah “dianggap” melekat pada diri Jokowi dan modal kuat yang jadi jualan pihak kepentingan. Sehingga beliau menohok calon-calon lain yang sebenarnya ada juga yang punya prestasi yang kurang lebih masih berimbang. Kapasitas Jokowi jika dimunculkan jadi capres, menurut penulis belumlah betul-betul istimewa/extra ordinary (extra luas dan extra nyaman). Maaf, sitir istilah salah satu iklan mobil di Televisi. Yang penulis maksud extra luas adalah kepopulerannya di dunia internasional. Bukankah sekarang kita hidup sudah tidak ada batas (border), karena globalisasi? Apa kata dunia, jika presiden kita dalam komunikasi tanpa diplomasi dan lebih menonjolkan keluguan dan kesederhanaan. Apabila beliau berhadapan dengan gaya komunikasi Amerika. Komunikator Amerika akan memandang sebelah mata jika dalam berkomunikasi dengan lawan bicara yang sangat bersahaja, lugu dan sederhana. Sedang di Indonesia saja, gaya komunikasi beliau jadi olok-olokan bahkan dimanfaatkan salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta, dengan menggunakan seseorang yang mempunyai typical postur/performance dan bicaranya mirip Jokowi. Kalimat yang sangat populer dan membuat orang jadi tersenyum dengan iklan tersebut : Kuliah di BSI aja. Extra nyaman, apakah kita cukup memiliki pemimpin hanya berhasil mendekati rakyat tetapi belum tentu memiliki naluri untuk mengamankan Indonesia dari ancaman serangan Negara mana saja dan kapan saja dapat terjadi? Penolakan lainnya adalah keterandalan beliau dalam mengatasi problematika Jakarta belumlah betul-betul teruji. Biarlah beliau menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur DKI Jakarta minimal satu periode. Jika berhasil akan ada buktinya dan jika gagal bagaimana diplomasinya. Ini yang harus kita tunggu dengan sedikit kesabaran. Memang beliau berhasil memajukan Surakarta Hadiningrat (Baca : Solo), tapi harus diingat Solo masyarakatnya lebih homogen ketimbang Jakarta. Jakarta seperti kita ketahui adalah miniatur seluruh budaya daerah yang ada di Indonesia, karena perputaran uang terbesar ada disana dan akibatnya menumpuklah seluruh anak bangsa Indonesia.
Jalan Tengah
Jika jelang habis tahun 2013 ini bangsa Indonesia (include masyarakat media) tidak mampu memunculkan tokoh alternative yang extra ordinary, maka tidak ada salahnya kita sedikit terpaksa mengikhlaskan tidak menunggu Jokowi menghabiskan masa jabatannya sebagai gubernur DKI. Namun tidak sebagai capres, tetapi hanya sebagai wapres. Beliau dapat dipasangkan dengan capres hasil survey Litbang Kompas 2013, Kriterianya adalah jika capres tersebut digandengkan wapresnya Jokowi, capres tersebut akan semakin besar dukungan dan hambatan kecil atau capres tersebut akan semakin besar dukungannya dengan hambatan sedang. Siapa itu? Silakan merujuk headline Kompas tanggal 28 Agustus 2008. Selamat melakukan kontempelasi.
-------------------------------------
(Penulis adalah Ketua STISIP (Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Nurdin Hamzah dan Ketua Pelanta (NIA. 201307002)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: