Matinya Hati Nurani

Matinya Hati Nurani

Oleh: Sjofjan Hasan

SATU bulan umat muslim telah mengikuti Diklat Pengendalian Diri (bahasa penulis).  Didalam agama, ini dikenal dengan  nama  ashiyam, yaitu berpuasa dari terbitnya fajar, menahan makan minum, menahan melakukan hubungan suami isteri, dan hal yang membatal lainnya hingga masuk waktu magrib. Jangan kan memakan yang haram, yang halal saja kita harus mengendalikan diri. Maka penulis menamakan melakukan puasa pada bulan Ramadhan, adalah latihan pengendalian diri sekaligus meng fungsikan hati nurani agar peka dengan lingkungan. Tujuan akhir dari puasa yakni agar menjadi mukmin, atau muslim yang bertaqwa.

Kalau di pegawai negeri seorang mengikuti Diklat, biasanya untuk kenaikan pangkat atau kenaikan jabatan. Artinya kemampuanya/ kompetensi meningkat setelah mengikuti Diklat. Sekarang bagaimana kita kaum muslim, setelah kita sebulan penuh melakukan ashiyam atau latihan pengendalian diri, apakah ada perubahan pada sikap kita zahir bathin ? Apakah kita sebagai insan muslim dapat mencapai kwalitas taqwa yang sebenar benarnya ? Peranan Hati Nurani sangat mempengaruhi tingkat pengendalian diri seseorang. Karena posisi hati ditubuh manusia adalah Raja, sedangkan panca indra lainnya, merupakan prajurit prajurit yang melaksanakan apa yang dimaui/ diperintah oleh hati. Sikap seseorang dalam kehidupan sangat di pengaruhi oleh hati, termasuk aktivitas beragama juga memerlukan hati nurani. Dalam sebuah hadits shahih disbutkan”Ketahuilah! Bahwa didalam tubuh manusia itu ada segumpal daging,jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik,tetapi jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu akan rusak. Ketahuilah ! bahwa yang demikian itu adalah hati” Dalam Al Quran, ada 33 ayat yang berbicara tentang hati. Salah satunya Al A”raf  ayat 170 ;”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia,mereka mempunyai hati,tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat ayat Allah)....

Di bulan syawal pasca Idul fitri,  ruh beribadah masih menggelora, baik ibadah mahdlah maupun ibadah mu”amalat duniawiyah. Tentunya harapan kita spirit dan aktivitas keagamaan serta kemasyarakatan hendaknya berlangsung terus menerus pada bulan-bulan berikutnya. Dan beragama jangan hanya berhenti pada kegiatan keagamaan yang seremonial, pada tataran konsep, pada pidato atau khutbah saja. Hendaknya pemahaman Al Quran tidak cukup hanya fasih membaca saja,tapi juga fasih menangkap pesan-pesan apa yang ada dalam Al Quran untuk di amalkan dalam kehidupan sebagai insan muslim,sehingga nilai nilai Islam betul betul menjadi rahmatan lil “alamin, dan membumi.  Untuk menangkap pesan pesan yang ada dalam Al Quran di perlukan peranan hati nurani, sebagaimana yang disampaikan ayat 170 Al A”araf tersebut diatas. Sebagai seorang muslim jangan menjadi umat Islam yang egoistis, mementingkan diri sendiri. Adakalanya seorang Islam,rajin membaca macam macam wirid, surat Yasin malam Jumat, membaca ayat Kursi ketika hendak tidur, itu belum cukup. Buya HAMKA dalam tafsir Al Azhar mengatakan:”Seorang insan muslim wajib berusaha membahagiakan diri dan membahagiakan orang lain”.

Ada pengalaman kecil penulis. Seorang sahabat penulis kalau beli koran, selalu belinya pada anak anak yang jual eceran di persimpangan jalan. Ketika di tanya kenapa tidak beli di toko saja,kita akan melewati juga toko yang jual koran. Apa jawabnya, saya beli di toko yang beruntung orang toko yang sudah kaya juga, tapi kalau saya beli pada anak anak yang jual eceran,sekalian memberikan penghasilan kepada mereka. Dari sumber lain penulis menemukan suatu persitiwa lagi. Ketika naik Bus umum di Jakarta, seorang tua ber lari lari naik Bus. Karena kurang hati hati waktu naik Bus, tertinggal salah sandalnya di jalan. Karena Bus sudah berjalan, si orang tua tidak sempat mengambil sandal yang tertinggal, tetapi apa yang dilakukannya ? Dia membuang satu sandalnya lagi keluar, ketika ditanya kenapa di buang, dia menjawab “ mudah mudah2an orang yang mendapatkan sandal tersebut  sepasangnya biar bermanfaat bagi yang mendapatkannya “, tadinya dikira jawabanya tidak guna juga lagi sebelah, tapi hati nuraninya berdoa, semoga orang yang mendapatkannya kedua buah atau sepasang. Contoh ini merupakan persitiwa kecil, tapi yang berperan disini adalah hati nurani,alangkah indahnya kalau sikap ini dipunyai oleh orang orang besar/kaya di negeri kita ini. Potret buram kehidupan berbangsa dan bernegara, dari tingkat bawah/daerah,maupun nasional,terutama dunia politik. Tachta, harta dan wanita, menjadi gaya hidup baru para elit yang serba boleh. Politik menjadi panglima, dengan retorika retorika menyampaikan kesan bahwa dialah yang terbaik, atau kelompok dia yang terbaik. Sepertinya atmosfir politik nasional dan pemerintahan di negeri ini kering dari nilai nilai spiritual.

Paradok dari suasana tersebut,dari penyimpangan moral dan etika berbangsa dan bernegara. Kegiatan kegiatan, symbol symbol, dan syiar syiar keagamaan semakin marak dan menyala nyala. Haji dan umrah makin antri dan bergelombang. Televisi berlomba lomba menyiarkan pengajian pengajian. Sampai ritual kematianpun dirayakan, dari tiga hari,tujuh hari,seratus hari, bahkan acara ritual peringatan seribu hari kematian.

Timbul pertanyaan apa yang terjadi, syiar dan kemeriahan ke beragamaan sangat semarak, tapi disisi lain kontradiksi perilaku ke ber agamaan yang menyimpang makin mewabah. Baik dari dari lapisan masyarakat paling bawah sebagaimana tulisan penulis yang lalu, maupun pada tingkat elit elit di negeri kita ini.  Apa yang salah dengan cara ber agama bangsa ini. Sepertinya sebahagian kita hati nurani tidak berfungsi lagi, atau telah matinya hati nurani. Bagaimana kita membumikan nilai nilai Islam,kalau apa yang dinyatakan surat Al “Araf ayat 170 betul terjadi saat ini. Wallahu a”lam bish-shawab.

(*.Penulis Anggota Pelanta,NIA 20130725)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: