Menyeret Ahmad Dhani dalam Kasus Lakalantas si Dul

Menyeret Ahmad Dhani dalam Kasus Lakalantas si Dul

Oleh  : Musri Nauli

Menyimak berita terakhir yang “seru” mengabarkan kecelakaan yang “dilakukan” oleh Abdul Qodir Jaelani (13 Thn) anak dari Ahmad Dhani memancing “kemarahan” publik. Terlepas dari kejadian sebenarnya, masih banyak misteri yang perlu diungkapkan. Selain kegeraman publik terhadap pelaku yang masih “belum dewasa” (masih berumur dibawah 18 tahun), korbannya cukup banyak. 6 orang tewas dan 11 orang luka parah.

 

Pertanyaan publik mengeruyak.

 

Pertama. Bagaimana “seorang” anak berusia 13 Tahun bisa mengendarai mobil di jalan umum. Walaupun fakta telah terungkap, si Dul mengendarai di jalan umum dan menewaskan beberapa orang, pertanyaan lanjutan juga harus disampaikan, mengapa Si Dul bisa mengendarai mobil di malam hari, tanpa sepengetahuan orang tua ?

Kedua. Bagaimana “kejadian” sebenarnya ? Mengapa Si Dul mengendarai malam hari ? Apa urusannya sehingga si Dul harus keluar malam hari ?

Ketiga. Bagaimana pertanggungjawaban si Dul terhadap peristiwa itu ?

Keempat. Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa itu.

Dari beberapa misteri yang bisa dilihat sekilas, maka kecelakaan antara Si Dul berbeda dengan kecelakaan yang dilakukan dengan Aryani (Tragedi Tugu Tani), kecelakaan Rasyid Amrullah, (“putra penguasa negeri), awal tahun dan kecelakaan Saiful Jamil

Apabila ketiga kecelakaan lainnya dilakukan “pengemudi” yang telah berusia “pantas”, kecelakaan dilakukan si Dul harus mendapatkan porsi yang “seimbang” dari pengamatan kita.

Pertama. Si Dul “masih berusia” 13 tahun. Didalam UU telah ditegaskan, terhadap pelaku yang berusia dibawah 18 tahun “harus” dipandang sebagai pelaku anak. Maka terhadap baik hukum acara, ancaman pidana, pertanggungjawaban pidana harus tunduk kepada Pengadilan Anak.

Kedua. Dalam proses hukum acara pidana, selain “harus” diperlakukan tidak sama dengan tindak pidana biasa (misalnya pemeriksaan harus didampingi oleh orang tua, BAPAS, psikologis), pemeriksaan juga dibangun “suasana” pertanyaan yang “bermaksud” menggali. Tidak berkesan seperti “interogasi” dalam pemeriksaan BAP seperti biasa.

Ketiga. Setiap pemeriksaan, harus dipastikan tidak ada suasana “tertekan” sehingga suasana psikologis tidak terganggu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: