Literasi dan Peradaban Kita

Literasi dan Peradaban Kita

(Refleksi Hari Aksara Internasional 8 September 2013)

Oleh: Suwardi., SE. Sy*

 

Sejak 49 tahun lalu (8 September 1964 – 8 September 2013), UNESCO menetapkan 8 September sebagai Hari Literasi Internasional (International Literacy Day). Penetapan tersebut dilakukan untuk mengingatkan dunia tentang pentingnya budaya literasi (baca-tulis).

Tidak bisa dipungkiri, tradisi budaya lokal kita adalah budaya lisan (orality), bukan budaya tulis. Hal itu membuat penyimpanan gagasan, dan pengetahuan hanya terjadi di dalam hapalan ingatansemata. Ignas Kleden dalam Buku Indonesia Baru menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), di mana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan lisan secara sempurna (Maya. S, 2009).

Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan, bahkan pada era saat ini sumber informasi lebih bersifat audio-visual. Keadaan tersebut menegaskan bahwa budaya baca-tulis belum pernah benar-benar mendarah daging di Indonesia, hal ini sebagaimana Data BPS (2006) menunjukkan, orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari total penduduk selebihnya lebih suka mendengarkan informasi dari televisi.

Budaya lisan primer yang belum terkikis oleh hadirnya budaya baca-tulis kini telah tergantikan oleh gempuran budaya lisan baru lewat media televisi. Budaya lisan baru itu mempunyai daya pikat lebih dan ”mudah” dilakukan, sehingga lebih disukai masyarakat Indonesia. Padahal, dengan membaca dan menulis, dapat membawa kepada sebuah perubahan yang sensasional.

 

Baca – Tulis untuk Perubahan

 

Membaca bukan sekadar melafalkan huruf-huruf terhadap objek bacaan (baca: tulisan yang informastif), tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita baca. Mengolah dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan tersebut. Seorang pembaca dituntut memiliki sikap kreatif-kritis. Jadi kita harus menerima secara kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan nilai apa yang terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa dampaknya bagi diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.

Lebih lanjut menurut Smith (1973) membaca bukan semata-mata proses visual. Ada dua macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama, informasi yang datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di belakang mata. Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf. Sedangkan, informasi yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang terkandung dalam bacaan itu. Memahami isi bacaan itu menutut pembaca untuk memiliki kemampuan berpikir dan bernalar.

Hasil dari aktivitas membaca yang komprehensif juga perlu dituangkan dalam tulisan. Sebagai contoh,  Tahun 2007, Dahlan Iskan, seorang CEO harian terkemuka Jawa Pos yang berpusat di Surabaya,  menjalani operasi ganti liver di Tiongkok. Sesaat setelah dirinya menjalani operasi, ia lantas menulis tiada henti di harian miliknya. Ketika banyak orang saat recovery lebih banyak istirahat total, ia memilih sebaliknya. Menuangkan pengalaman menegangkan saat detik-detik mulai dioperasi, kenangan masa kecilnya, yang bahkan ia tidak tahu persis tanggal kelahirannya serta falsafah hidup yang ia pegang. Yang kemudian kumpulan tulisan pengalaman Dahlan Iskan tersebut dijadikan buku dan menjadi buku best seller yang menginspirasi jutaan rakyat Indonesia.

Kemampuan Dahlan Iskan dalam menuangkan gagasan dan pengalamannya selama operasi ganti hati di Tiongkok, memberikan kekuatan tersendiri bagi dirinya ketika seluruh aktivitasnya harusnya diistirahatkan pascaoperasi, ia justru tampil dengan dengan menginspirasi banyak orang. Maka benarlah apa yang dikatan M. Fauzil Adhim dalam bukunya Inspiring Words for Writer. Dalam setiap untaian kata terdapat sihir. Sebuah sihir yang mampu mengobati sakit fisik dan psikis sekaligus. Sakit parah yang bahkan bisa hampir merenggut nyawa seorang Dahlan Iskan mampu dilalui masa-masa drop itu dengan menulis.

Dalam tuturan tersebut di atas sangat jelas, aktivitas baca tulis jika disandingkan dan terus menjadi satu aktivitas kehidupan sebagaimana yang dicontohkan oleh Dahlan Iskan akan mampu membawa perubahan dan dampak luar biasa terhadap kehidupan seseorang, bangsa dan negara. Sebagaimana era perjuangan dahulu, ketika tulisan-tulisan Bung Karno dan Bung Hatta dalam kolom artikel surat kabar Nasional yang dibaca oleh Jutaan rakyat Indonesia yang kemudian menginspirasi untuk bergerak maju dan menyuarakan kemerdekaan bangsa Indonesia juga Bangsa dunia ketiga yang sedang dalam penjajahan.

 

Penutup

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: