DGS Baru Perketat Utang Swasta
JAKARTA-Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menilai bahwa sentimen eksternal yang tengah menekan Indonesia tidak bisa diabaikan. Karena itu, pada masa jabatan barunya sebagai otoritas moneter, Mirza berkomitmen untuk mereduksi tekanan eksternal yang berdampak pada kinerja perekonomian tanah air. Salah satu upayanya adalah dengan akin memperketat utang luar negeri swasta.
\"Untuk sementara waktu, kami akan kurangi utang luar negeri swasta yang memang tidak terlalu penting. Rasanya juga harus mulai dikendalikan. Dan kalau pada saatnya nanti utang lagi tidak apa-apa,\" ungkapnya usai mengucap sumpah di depan Ketua Mahkamah Agung di Gedung MA kemarin (3/10).
Merujuk konsolidasi data BI, hingga akhir Juli lalu total utang luar negeri Indonesia mencapai mencapai USD 259,54 miliar. Jumlah itu meningkat dari periode yang sama tahun lalu sebesar USD 241,47 miliar. Utang tersebut didominasi pinjaman swasta mencapai USD 133,93 miliar. Sisanya merupakan utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 125,6 miliar.
Dari sejumlah utang swasta, perusahaan bukan bank merupakan debitur terbesar mencapai USD 111,63 miliar. Berikutnya dari perbankan meminjam USD 22,3 miliar. Karakter utang swasta lebih cenderung pada utang jangka pendek, dengan nilai USD 38,5 miliar. Jumlah utang jangka pendek sendiri mencapai USD 45,8 miliar.
Mirza menilai, saat ini banyak utang luar negeri yang bersumber dari proyek-proyek yang tidak terlalu prioritas bagi perusahaan swasta di dalam negeri. Sehingga, nantinya BI akan memilah secara ketat apakah proyek-proyek swasta tersebut bakal dijalankan tahun ini. Saat ini BI tengah mengkaji sektor-sektor swasta yang dianggap belum diprioritaskan untuk mendapatkan pembiayaan dari luar negeri tersebut.
\"Sekarang kan tren suku bunga Amerika juga meningkat. Jadi, lebih baik debitur dalam negeri itu melihat ke depan. Karena tantangan 2014 itu juga bukan hal yang mudah,\" paparnya.
Di sisi lain, Mirza mengaku juga tergerak untuk menyelesaikan tantangan jangka pendek BI, yakni defisit neraca pembayaran (balance of payment) dan transaksi berjalan (current account). \"Karena itu untuk sementara waktu kita kurangi impor yang tak perlu. Impor yang terlalu kencang bisa berarti rupiah kita yang terlalu kuat, jadi kredit digenjot, dan orang banyak yang pinjam dollar karena murah. Jadi sekarang rupiah di kisaran Rp 11 ribuan itu bagus, karena untuk tingkatkan daya saing,\" jelasnya.
Berdasarkan catatan BI, pada kuartal kedua 2013, defisit neraca pembayaran Indonesia (NPI) mencapai USD 2,5 miliar. Angka ini menurun dari kuartal pertama 2013 sebesar USD 6,6 miliar. Meskipun terjadi penurunan defisit, Mirza berharap, pemerintah bersama BI bisa membuat jumlah defisit terus berkurang tajam. Salah satunya dengan cara mengurangi impor.
(gal/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: