Potret Hukum Kita

Potret Hukum Kita

Oleh: Sjofjan Hasan, SH, MH.

                Pada tanggal 2 Agustua 1985, sebuah jumbo jet Delta Airlines jatuh di Dallas dan menewaskan 137 orang. Segera sesudah malapetaka tersebut para lawyers dari kedua pihak, yaitu pihak korban dan perusahaan penerbangan, terjun kelapangan dengan begitu cepat dan agresif,bagaikan burung gagak melihat bangkai. Suatu peperangan sengit dengan saling menuduh secara pahit dan immoral merupakan pemandangan yang menyusul tahun tahun berikut. Sepuluh hari  sesudah persitiwa di Dallas tersebut,sebuah Jumbo Jet milik Japan Airlines jatuh di di gunung Ogura di kepulauan Honshu. Tidak ada lawyers yang agresif turun ketempat kejadian. Hari hari berikutnya hanya diisi dengan suasana duka  yang mendalam. Perusahaan Japan Airlines secara penuh berusaha untuk mengevakuasi dan menolong baik korban maupun keluarganya. Sesudah semua beres, presiden Japan Airlines menghadap kepada keluarga korban, membungkuk dalam dalam, minta maaf dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya. Anak anak dari korban juga mendapat bea siswa dari penerbangan tersebut( SACIPTO RAHARJO, Biarkan Hukum Mengalir).

 Dua peristiwa ini menggambarkan atau potret cara berhukum bangsa Amerika dan bangsa Jepang. Bangsa Amerika berhukum menggunakan akal pikiran, sedang bangsa Jepang cara berhukumnya tidak berdasarkan akal pikiran, tetapi lebih menggunakan hati. Dari peritiwa tersebut Jepang lebih mengutamakan nilai nilai moral. Pertanyaannya, bagaimana kita bangsa Indonesia, bagaimana potret hukum kita/ cara berhukum kita? Sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia telah banyak mebuat hukum hukum modern untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari konstitusi dasar kenegaraan RI, yaitu UUD 1945, dan pelbagai undang undang sebagai pelaksana dari UUD tersebut. Dibentuknya Hukum dengan tujuan untuk menata ketertiban dalam kehidupan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagaimana kehidupan bangsa Indonesia menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,beratus tahun lalu sebelum kemerdekaan RI. Dalam fakta sejarah,bangsa Indonesia yang di Nusantara ini, yang terdiri dari bermacam macam suku, pada umumnya telah punya perangkat hukum yang mengatur ketertiban dalam  kehidupan masyarakat, maupun antar suku, yang dikenal dengan Hukum Adat.Pada zaman tersebut belum ada yang perlengkapan negara seperti sekarang ini,, belum ada polisi, jaksa, hakim dan Pengadilan Negeri, Yang ada hanya para tokoh tokoh adat,musyawarah adat, dan ada yang dikenal dengan Badan Kerapatan Adat, dimana para tokoh tokoh adat bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan persolan yang timbul dalam masyarakat.  Apabila telah di putuskan dalam musyawarah adat, diterima dan di patuhi oleh masyarakat adat, tidak ada aparat hukum yang secara aktif mengawal berlakunya ketentuan ketentuan Hukum Adat.Masyarakat Adat mematuhi hukum adat dengan Hati, sebagaimana contoh bangsa Jepang berhukum. Keamanan dan ketertiban dalam masyarakat telah terbentuk dengan menghormati nilai nilai moral, etika, dan rasa keadilan yang bersumber dari hati, bukan dari akal pikiran.

Penulis ingin mencontohkan ketertiban masyarakat Melayu Jambi, terlihat dalam kehidupan sosial kultural melalui ungkapan tradisionalnya yang dikenal dengan istilah seloko adat,yang berperanan membentuk kebiasaan  dalam masyarakat, yang menggambarkan sikap sikap terpuji,antara lain, jujur, tabah, pemberani, taat beribadah, rasa kebersamaan dalam kehidupan sesama anggota masyarakat maupun antar suku. Penggalan seloko seperti yang ditampilkan berikut “Induk undang tambang teliti, Titian teras bertanggo batu, Kaco gedang nan indak kabur, Tonggak nan idak dapat digoyang, Baju bejait nan dipakai, Jalan berambah nan di tembuh “

Maksud ungkapan adat tersebut tegas mengibaratkan betapa kuatnya kedudukan hukum yang telah disepakati di tengah tengah kehidupan masyarakt. Induk undang adalah Ibu dari segala hukum yang berlaku. Tambang teliti yang dimaksudkan segala hukum terikat kepada syarak atau hukum yang diajarkan oleh Agama Islam, yaitu Al Quran dan Hadis Nabi. Kaco gedang nan idak kabur, mengibaratkan agar sebagai Penguasa dan Penegak hukum hendaklah berbuat dan bekerja menurut kenyataan yang sebenarnya, seperti setiap orang melihat wajah atau dirinya sebagaimana yang terlihat dalam kaca. Tonggak yang idak dapat digoyang, berarti sebagai penguasa atau penegak hukum tidak dapat diganggu gugat selama ia berdiri bersama kebenaran. Baju bejait yang dipakai, semua liku kehidupan tidak boleh keluar dari ketentuan yang ada. Jalan berambah yang ditempuh, setiap perbuatan tidak boleh menyimpang dari hukum yang ada. Itulah sebagian nilai nilai tradisional yang ada dalam kehidupan masyarakat adat, dimana peranan hati sangat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat adat,dalam rangka mewujudkan rasa kebersamaan, keadilan.

Saat sekarang, dimana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,sejak kemerdekaan telah tampil hukum moderrn. Timbul persimpangan dalam menyikapi kehidupan berhukum masyarakat, antara berkehidupan berhukum secara alami (hukum adat), atau secara modern, yang ada muatan rasional-formal-prosedural. Bahkan terjadi perbenturan hukum modern/nasional dengan hukum adat. Contoh yang paling terkenal UU No. 5 Tahun1979, tentang Pemerintahan Desa, yang menyeragam/menata struktur pemerintahan di bawah kecamatan seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaannya terjadi banyak hambatan untuk menyesuaikannya. Seperti di Sumatera Barat, dikenal adanya NAGARI, dan Jorong, sementara di Jambi dikenal dengan istilah MARGA, dan Dusun, yang sudah lama berjalan dengan kaidah kaidah hukum Adat. Contoh lain, di wilayah Jambi, masyarakat secara tradisional telah “ mengusahakan” hutan bertahun tahun sejak zaman nenek moyang, adanya wilayah adat yang dikenal dengan Hak Ulayat masyarakat,dan masyarakat dulu tidak mengenal dengan yang dinamakan sertifikat atas tanah.Apa yang terjadi kemudian, hak hak masyarakat adat berhadapan dengan Pengusaha Hutan yang bersenjatakan hukum modern, dapat dibayangkan siapa yang akan menang dalam persoalan ini.

Yang menyedihkan lagi,yang terkesan saat ini, ruang pengadilan bukan di jadikan tempat mencari keadilan, tapi telah dijadikan Arena pertarungan untuk menang antara Advokat, Jaksa dan Hakim. Pengadilan menjadi persidangan “ undang undang dan prosedur” dan bukan persidangan “ mencari keadilan”. Inilah POTRET  hukum kitasaat ini. Wallahu A’lam Bish Shawaab.

(*Pengamat Hukum dan Pemerintahan/Ketua STIE Muhammadiyah Jambi/Anggota PELANTA,NIA.201307025)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: