Meningkatkan Perwakilan Wanita di Legislatif

Meningkatkan Perwakilan Wanita di Legislatif

Oleh : Navarin Karim

Adolf Hitler paling tidak setuju jika wanita berkecimpung dalam politik, bahkan dia pernah kemukakan lebih baik mengurus delapan anak sehingga tumbuh sehat dan cerdas, ketimbang wanita jadi politisi dan anak-anak tidak terurus. Tapi sekarang dunia sudah berubah, alangkah kecewanya pihak orang tua jika anaknya tidak dibolehkan bekerja oleh suaminya, terasa sia-sia biaya yang dikeluarkan orang tua hingga sianak memperoleh gelar sarjana. Apalagi  jika anaknya hanya berkutat persoalan sumur , dapur dan kasur. Persoalan lain adalah, siapa yang memperjuangkan hak-hak wanita  di legislative, jika hanya ada segelintir perwakilan wanita. Sejak adanya ketentuan tahun 2004  bahwa   parpol diharuskan mengajukan minimal 30 % sebagai caleg, maka mulai meningkat jumlah perwakilan wanita. Berdasarkan data Litbang Kompas yang diolah oleh KPU Pusat menunjukkan bahwa  tahun 2004 terdapat 2.507 orang caleg  (32.3 %) dan berhasil mendapat kursi di legislative sebanyak 67 orang (11,8%). Tahun 2009 terdapat  3.735 orang caleg  (35,5 %) dan yang berhasil mendapat kursi di legislative sebanyak 101 orang (18%). Tapi anehnya  tahun 2014 terjadi penurunan kembali caleg menjadi 2.222 orang (27 %). Persoalan rendahnya jumlah legislative wanita  ketimbang laki-laki, karena kurangnya perhatian parpol. Padahal kalau memang serius,  parpol tidak sulit dalam merekruit dan mengkaderkan perwakilan wanita ini. Dengan demikian jelang Pemilu, partai-partai tidak perlu repot harus memikirkan bagaimana memenuhi minimal 30  % caleg yang diajukan.  

Strategi Recruitment.

Untuk mendapatkan kader yang berkualitas, maka beberapa strategi  dibawah perlu dijadikan pertimbangan.

Pertama, merekruit alumni perguruan tinggi yang berasal dari aktivis kampus (tidak mutlak Indeks Prestasi tinggi). Bagi aktivis kampus tidak asing lagi dalam kehidupan politik. Yang jelas mereka sudah punya modal berani menyuarakan dan mengekspresikan apa yang akan diperjuangkannya. Bukankah istilah lain dari legislative adalah parlemen? Dan parlemen sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu Parle (identik dengan istilah Inggris talk/bicara). Aktivis kampus mayoritas sudah pasti pintar ngomong dan punya kepedulian yang tinggi terhadap persoalan bangsa ketimbang mahasiswi kampus yang hanya berkutat dengan buku  Kedua. Kalangan guru dan dosen yayasan. Mereka dibolehkan masuk partai, karena mereka bukanlah PNS. Guru dan dan dosen termasuk selected people. Terlalu naïf rasanya kalau sang guru dan dosen berani mengambil profesi ini kalau dia tidak memiliki kemampun intelektual diatas rata-rata. Ketiga. Ibu-ibu pengurus pengajian di mesjid atau ibu-ibu pengurus Dharma wanita, serta ibu-ibu PKK. Kelebihannya adalah paling tidak mereka sudah berpengalaman dalam organisasi. Keempat. Dari kalangan wanita pengusaha. Yang jelas untuk biaya promosi mereka tidak tergantung dari suami atau sponsorship. Kelima. Jika perlu kalangan wanita ini membuat partai khusus wanita. Bukankah jumlah penduduk wanita hampir mendekati 2 X lipat dibandingkan pria? Jadi peluang mendapat kursi seharusnya lebih besar, jika membuat partai khusus kaukus wanita. Ingat ketika Orde Lama, melalu partai wanita (Gerwani), mereka mendapatkan kursi di legislative. Jika mereka bergabung dengan partai laki-laki dikhawatirkan, dalam promosi pemimpin partai lebih memprioritaskan promosi caleg laki-laki ketimbang perempuan.

Seleksi dan Pengkaderan.

Jika proses recruitmentnya sudah benar, maka langkah selanjutnya adalah seleksi calon anggota partai. Disinilah kesempatan partai memilih anggota yang terbaik dari yang baik. Selanjutnya mereka harus dikaderkan terutama berkaitan dengan kemampuan komunikasi (talk), kemampuan dengan membekali bagaimana proses budgeting, pembuatan peraturan (regulasi) hingga teknik pengawasan.

Trick Kemenangan.

Jika anggota partai telah melalui proses pengkaderan dan mendapat   promosi serta   lolos menjadi caleg tetap, maka bentuk tim sukses sosialisasi dan jangan lupa menempatkan saksi pemilu di TPS  serta dilanjutkan mengawal penghitungan suara d PPK hingga ke KPUD/KPU. Caleg wanita perlu membuat program khusus berkaitan dengan hak-hak wanita yang akan diperjuangkan, supaya menimbulkan daya tarik pemilih wanita.

Harapan

Semakin banyak perwakilan wanita di legislative diharapkan makin banyak persoalan-persoalan gender yang dapat diperjuangkan. Hingga kini tercatat baru ada Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), namun belum ada Undang-Undang perlindungan terhadap TKW baik yang bekerja di instansi pemerintah, swasta, buruh maupun sebagai pembantu rumah tangga. Belum adanya Undang-Undang Perlindungan Wanita Lembur Kerja Pada Malam Hari. Undang-Undang tentang jaminan kesehatan dan perkembangan anak Balita, manakala si ibu sedang menjalankan tugasnya sebagai pegawai/tenaga kerja. Dan lain sebagainya.

----------------------------

Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan  (STISIP) Nurdin Hamzah dan Ketua Pelanta (NIA. 201307002)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: