Pra Peradilan dan Penyadapan Bersyarat RUU KUHAP
OLEH SONY GUSTI ANASTA
Dalam memutus suatu perkara, hakim berpijak kepada alat bukti dan keyakinan pribadi. Andi Hamzah dalam bukunya berjudul Hukum Acara Pidana Indonesia mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif. Maksudnya hakim akan berpijak kepada syarat yang ditentukan oleh undang-undang sebagai normatif-legalitas dalam membentuk suatu keputusan ditambah keyakinan dan intuisi dari seorang hakim sebagai kontrol pertimbangan dari syarat yang diajukan oleh undang-undang.
Jadi, syarat dalam undang-undang dianggap sebagai bahan untuk selanjutnya dijadikan hakim dalam menghubungkan alat bukti dengan fakta persidangan untuk mencari kebenaran materiil.
Salah satu syarat yang paling tinggi legitimasinya dimata seorang hakim adalah pengakuan tersangka, karena dengan pengakuan tersangkalah seorang hakim dapat menjatuhkan keputusan dengan lebih meyakinkan. Oleh sebab itu sebelum kasus naik ke persidangan, penyidik (POLRI) dalam melaksanakan tugas berusaha sedapat mungkin mengeruk keterangan dari terdakwa termasuk untuk mencari pengakuan bahwa dia lah yang melakukan tindak pidana.
Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk mencari pengakuan. Untuk beberapa tersangka yang ngeyel dan kukuh pada pendiriannya, penyidik bahkan tak sungkan melakukan penyiksaan dan penganiyayan guna mendapatkan pengakuan dari tersangka.
Hal ini dikarenakan HIR menyebut salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana adalah pengakuan dari tersangka. Hal ini lah yang membuat aparat penegak hukum khususnya penyidik POLRI dalam menggali pengakuan tersangka kerap menggunakan kekerasan.
Namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, keadaan agak sedikit berubah. Syarat yang sebelumnya berbunyi pengakuan tersangka, berubah menjadi keterangan tersangka.
Namun, kebiasaan dalam melakukan introgasi dengan dibumbui kekerasan ini telah berubah menjadi hukum kebiasaan. Kendati undang-undang tidak meminta pengakuan tersangka, namun penyidik kerap melakukannya dengan alasan efektifitas. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pengaduan terkait dengan penganiayaan yang dilakukan penyidik ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
Hakim Pemeriksaan Pendahuluan
Oleh sebab diatas, penting rasanya untuk menggiatkan sebuah lembaga atau tahapan dalam peradilan yang selain berfungsi untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada tersangka , juga memeriksa apakah tindakan penyidik sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Lembaga atau tahapan tersebut bernama pra-peradilan.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, tugas ini dipimpin oleh hakim tunggal. sebelumnya disebut hakim komisaris, sedangkan di dalam RUU KUHAP baru (sosialisasi versi 2012), pra-peradilan akan dipimpin oleh hakim pemeriksaan pendahuluan.
Tugasnya kurang-lebih sama. Hakim ini selain bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah kerja dari penyidik POLRI sesuai dengan standar prosedur operasional, juga sebagai tempat pengaduan bagi tersangka ataupun masyarakat yang mengalami deskriminasi dan pelanggaran prosedur oleh penyidik POLRI, untuk selanjutnya jika dibenarkan akan mendapat rehabilitasi uang ganti dan hak pemulihan nama baik.
Yang jelas, pra-peradilan selain berguna untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dari penyidik POLRI, juga berfungsi untuk mengawasi kinerja penyidik dalam menggunakan kewenangannya. Karena benar menurut adagium belanda bahwa, kewenangan yang tidak diawasi cenderung malampaui batas (uncontroled power tend to corrupt).
Penyidik POLRI merupakan tugas pembantuan dari Presiden (eksekutif) jika dikaitkan dengan teori trias politica dari Jhon Locke, dimana pembagian kekuasaan (distribution of power) dibagi menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan terhadapnya ada asas check and balance (saling mengawasi) maka seharusnya dalam hal ini, kontrol dari penyidik haruslah hadir dari luar pemerintah (eksekutif), yaitu dari pihak yudikatif (badan peradilan). Jadi secara konsep, penyidik POLRI selain harus tunduk dan patuh terhadap peraturan internal eksekutif (standar operasional prosedur), juga harus menghargai setiap keputusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan (yudikatif).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: