Syafruddin Prawiranegara Yang Terlupakan

Syafruddin Prawiranegara Yang Terlupakan

* Sjofjan Hasan,SH.,MH.

                Sejak Proklamasi NKRI 17 Agustus 1945 Kerajaan Belanda belum sepenuh hati mengakui keberadaan NKRI, masih menganggap Indonesia adalah jajahan Belanda, dan tetap berupaya menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Selama periode 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Desember 1949,terdapat pergolakan tidak henti hentinya antara Kerajaan Belanda dengan pemerintahan Indonesia yang telah di bentuk. Serangan Belanda baik secara politik maupun dengan secara fisik, dengan melakukan agresi demi agresi yang pada puncaknya serangan ke kota Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia/ pusat pemerintahan pada waktu itu. Pada tanggal 19 Desember 1948, jam 06.00 pagi agresi Belanda secara fisik terhadap Republik Indonesia di lancarkan. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan kepada ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang maguwo dikuasai Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta. Presiden dan wakil presiden , dan beberapa pejabat tinggi lainnya di tawan Belanda. Presiden Soekarno di terbangkan ke Prapat dan Wakil Presiden Hatta ke Bangka. Presiden Soekarno kemudian di pindahkan ke Bangka.

                Pada waktu hari dan tanggal yang sama kota Bukittinggi juga dilakukan pem boman oleh Belanda. Para pimpinan pemerintah yang ada di Bukittinggi mengadakan perundingan untuk meninjau situasi secara keseluruhan. Sore jam 18.00 Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Panglima tertinggi Tertorial Sumatera, Kolonel Hidayat, yang didampingi Ajudan Kapten Islam Salim, menemui Mr.Hasan untuk melanjutkan rapat membicarakan situasi dalam negeri, teristimewa mengenai situasi Yogyakarta. Mereka memperkirakan Presiden dan wakil Presiden dan para anggota pemerintahan lainnya, mungkin sudah di tawan Belanda, atau yang masih diluar melakukan gerilya. Syafruddin mengusulkan kepada Hasan kemungkinan mendirikan Pemerintahan Darurat untuk dapat melanjutkan perjuangan melawan Belanda.Malam tanggal 19 Desember 1948, Mr.Syafruddin beserta Hasan dan Lukman Hakim dan sejumlah pejabat menuju Halaban, kira kira 15 km dari kota Payakumbuh.

                 Para pemimpin yang ada di Halaban mengadakan perundingan yang akhirnya pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI yang lahir jam 04.30 tanggal 22 Desember 1948, disepakati sebagai Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan, Mr. Syafrudin Prawiranegara. Sementara itu pada tanggal 19 desember 1948 di Yogya, sempat diadakan sidang Kabinet telah diambil keputusan untuk memberikan Mandat melalaui radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang kebetulan waktu itu sedang berada di Sumatera, agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonsia (PDRI). Jika Syafrudin Prawiranegara tidak berhasil membentuk PDRI,  kepada A.A. Maramis (Menteri Keuangan), L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di India diberi kuasa untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di India

.Dari fakta sejarah sebagaimana tersebut diatas, terlihat apa yang dilakukan di Halaban di Sumatera dan di Yogya oleh para pemimpin Indonesia sejalan dan satu pemikiran. Dengan adanya kawat/radiogram dari Presiden dan Wakil Presiden RI kepada Syafrudin Prawiranegara, dengan demikian PDRI yang di bentuk di Sumatera tersebut mempunyai landasan hukum yang sah dan seluruh aparat di kawasan Indonesia harus mematuhi dan mendukung PDRI. Dengan adanya kawat tersebut keberadaan PDRI adalah sah sebagai pemerintahan darurat NKRI. Dalam perspektif hukum internasional dan hukum tatanegara dalam arti luas, tidak boleh ada kekosongan dalam jabatan kepala negara dari suatu negara yang berdaulat dan merdeka.

Jabatan sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, sering di jadikan polemik sebahagian masyarakat bahwa Syafrudin Prawiranegara tidak tepat disebut  sebagai Presiden. Pada faktanya Syafrudin Prawiranegara melanjutkan kemudi kapal besar bernama Indonesia yang sedang oleng dan hampir karam. Karena Presiden dan Wakil Presiden RI dalam tawanan Belanda, tidak bisa bertindak sebagai subjek hukum yang tersendiri dalam lalulintas hukum. Perjuangan tersebut tidak ringan, sejak tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 13/14 Juli 1949. Perjuangan mempertahankan keberadaan NKRI selama 7 bulan, baik upaya mengkoordinir semua komponen bangsa dalam negeri, juga usaha diplomasi terhadap masyarakat Internasional, dalam rangka mempertahankan existensi pemerintahan dan NKRI yang telah di Proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.

Ada contoh yang di berikan oleh Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie,SH,. Ketika Presiden John F.Kennedy, meninggal karena pembunuhan, maka Wakil Presiden Lindhon Johnson terbang menuju tempat jenazah di semayamkan. Di tengah perjalanan, diatas pesawat udara, Lindon Johnson dilakukan sumpah jabatannya sebagai Presiden untuk mencegah terjadinya kekosongan dalam jabatan Presiden. Dengan demikian, ketika Lindon Johnson mendarat, ia sudah harus di perlakukan sebagai Presiden Amerika Serikat.

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, ketika terjadi Agresi Belanda tanggal 19 Desember 1948, dengan membentuk PDRI dan menunjuk Syafrudin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI, adalah sudah benar berdasarkan hukum ketatanegaraan. Secara substantif kedudukan Ketua PDRI, merupakan jabatan kepala Negara, yang diberi mandat oleh Presiden Soekarno, menjalankan pemerintahan dalam kondisi negara darurat. Maka secara de facto dan de yure dalam perspektif Hukum Tata Negara, Syafruddin Prawiranegara adalah Presiden RI dalam arti yang sesungguhnya.

Ketika berbicara Presiden RI dari tahun 1945 sampai saat ini, harusnya tercatat 7 orang, (1).Soekarno,(2).Syafruddin Prawiranegara,(3).Soeharto.(4).B.J.Habibie,(5).Abdurrahman Wahid.(6).Megawati Soekarno Putri,(7). Susilo Bambang Yudhoyono. Selama ini yang tercatat sebagai Presiden RI sejak tahun 1945 sampai sekarang dikenal hanya 6 Presiden RI. Yaitu (1).Soekarno,(2).Soeharto,(3)BJ.Habibie,(4).Abdurrahman Wahid.(5),Megawati Soekarno Putri,

(6).Soesilo Bambang Yudhoyono. Dengan tidak mengakuinya Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden kedua RI, berarti kita telah melupakan sejarah, baik keberadaan Syafruddin Prawira negara sebagai Presiden RI kedua maupun pemerintahan RI yang dikenal dengan PDRI. Dari alam arwah akan berteriak lagi Bung Karno, “jangan sekali kali melupakan sejarah”. Apakah ini sejarah yang terlupakan atau di lupakan !.

(* Penulis.Ketua Stie Muhammadiyah Jambi, anggota Pelanta NIA.201307025.)

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: