POLITIK INDONESIA DAN PELUANG BAGI PEREMPUAN

POLITIK INDONESIA DAN PELUANG BAGI PEREMPUAN

Oleh : Wenny Ira Reverawati, S.IP., M.Hum

                Hajatan pesta demokrasi Indonesia untuk memilih calon legislatif yang akan duduk di kursi lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat maupun daerah, dalam kurun periode lima tahun sekali dijadwalkan pada 9 April 2014. Jika dihitung dari sekarang, maka tinggal dalam hitungan bulan yang dekat sekali. Pada kesempatan ini kita menyaksikan politikus lama dan baru dari kelima belas partai politik kontestan pemilu berkompetisi, baik laki-laki maupun perempuan.

                Khusus mengenai perempuan, diketahui bahwa hak-hak berpolitik perempuan dijamin dalam beberapa konvensi yang diikuti oleh Indonesia sebagai negara peserta penandatangan. Diantara konvensi tersebut adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau yang lebih dikenal dengan CEDAW dan merupakan satu kesatuan bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM ) PBB. Disamping itu juga ada deklarasi Beijing Platform. Jika pada CEDAW hak berpolitik perempuan terdapat dalam pasal 7, maka dalam Beijing Platform terdapat dalam butir kesepakatan yang ke 7.

                Konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan konvensi dan deklarasi tersebut jelas adalah, melaksanakan kewajiban untuk menjamin segala hak-hak perempuan khususnya hak berpolitik perempuan yang tercantum dalam konvensi maupun deklarasi. Termasuk kedalam itu adalah segera meratifikasi kedalam rezim perundang-undangan setempat, dan menyediakan perangkat terkait demi kesinambungan terjaminnya hak-hak perempuan tersebut.

                Dalam dua periode pemilihan umum di Indonesia sejak tahun 2009 , telah dibuatkan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik melalui semangat untuk mengakomodir Affirmative Action yaitu pembuatan perlakuan khusus sementara untuk menyamakan hasil dan jika hasil sudah sama maka prosesnya baru disamakan,  berupa tiga puluh persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif dan kepengurusan partai politik, kedalam wujud produk perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemilihan Umum No. 15 Tahun 2011, Pemilihan Umum Legislatif No. 8 Tahun 2012, dan Partai Politik No. 2 Tahun 2008 yang dirubah kedalam Undang-Undang  No. 2 Tahun 2011.

                Terlepas dari pro dan kontra syarat tiga puluh persen keterwakilan politik perempuan, baik dari pandangan yang menganggap kebijakan tersebut justru melemahkan posisi perempuan karena cenderung memanjakan perempuan atau malah hal tersebut membatasi ruang gerak perempuan secara disengaja terstruktur dari kekuasaan, karena hanya dalam proses pencalonan saja syarat tersebut diberlakukan, tetapi dalam penempatan kursi dilegislatif perempuan masih harus berjuang mendapatkannya dengan susah payah yang tak jarang mengalami penjegalan dari kompetitor laki-laki, maka syarat tiga puluh persen keterwakilan tersebut dianggap sebagai upaya setengah hati untuk mengakomodir Affirmatif Action.  Penulis punya beberapa pandangan akan hal tersebut.

                Pertama, syarat tiga puluh persen keterwakilan politik perempuan merupakan pintu untuk membuka akses kesadaran berpolitik perempuan. Banyak perempuan di Indonesia yang berpendidikan baik dan memiliki karir yang baik dibidang lainnya, tetapi secara politik sebagian besar cenderung apatis. Padahal lingkaran kehidupan mereka rentan tanpa jaminan jika menghadapi situasi genting yang sewaktu-waktu dapat menimpa mereka dan berdampak kepada kelangsungan hidup diri juga keluarganya serta sekitarnya. Pentingnya tiga puluh persen keterwakilan politik perempuan ini, untuk membuka mata semua kaum perempuan, bahwa dalam timbunan kewajiban kehidupannya ada hak berpolitik yang harus disadari diraih atau diwakilkan kepada yang peduli terhadap kondisi perempuan terutama dari kaumnya sendiri, demi keseimbangan kehidupan perempuan.

                Kedua, jika berbicara jumlah dalam berpolitik, perempuan masih terlalu dini dibandingkan dengan laki-laki. Ditambah lagi, bahwa selama ini perempuan masih kedalam naungan supra struktur partai politik yang cenderung menjadi hegemoni laki-laki. Maka, syarat tiga puluh persen keterwakilan tersebut, dapat dijadikan ajang menaikkan jumlah terlebih dahulu, terlepas sebagian tidak menyetujui masalah jumlah ini yang seolah mengabaikan kualitas. Tapi menurut penulis, kualitas bisa dibenahi seiring dengan kuantitas.

                Dua hal ini dapat dijadikan rujukan untuk mendirikan tangga darurat perempuan dibidang politik. Mengingat tidak mudah menarik perempuan untuk berkecimpung kedalam bidang politik karena beberapa pertimbangan meskipun perempuan tersebut dibekali dinasti, modal dan jaringan, terutama sekali perempuan-perempuan yang berada ditingkat grass root  atau akar rumput, diantaranya adalah politik merupakan medan yang sama sekali awam bagi perempuan terutama jika jejaring perempuan masih lemah. Kerasnya medan politik kerap meletihkan perempuan untuk mengikutinya, atau justru membuatnya menjadi pecundang dengan resiko dijauhi dan dibenci oleh sesama kaumnya apalagi kaum laki-laki, dan yang paling menyedihkan adalah keluarga, dalam hal ini  perempuan akan berdiri sendiri tanpa pertolongan. Berikutnya adalah modal, perempuan tidak sama dengan politikus laki-laki yang royal dan loyal terhadap modal, karena perempuan cenderung memprioritaskan kepentingan keluarga terlebih dahulu ketimbang kepentingan lainnya atau dirinya.

                Kelebihan politikus perempuan dibanding politikus laki-laki adalah, lebih dekat dengan permasalahan yang dihadapi oleh jumlah mata pilih perempuan yang potensial. Seharusnya juga politikus perempuan lebih fokus mengangkat isu-isu perempuan yang sama sekali atau jarang tergarap. Ini mengingat sekali lagi bahwa tujuan keberadaan keterwakilan politik perempuan adalah untuk mendirikan tangga darurat bagi kaum perempuan, harusnya politikus perempuan dan sesama kaum perempuan sendiri terutama yang ada dalam posisi pemilih menyadari ini.

                Disamping itu, dengan adanya sistem politik yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung, untuk memilih wakil-wakil politik yang akan mewakili rakyat di lembaga legislatif, juga merupakan kesempatan yang baik bagi perempuan untuk terjun dibidang politik meraih hak berpolitiknya. Apalagi mekanisme ini didukung oleh era pasar politik yang bebas, dimana pencitraan menjadi senjata utama dibanding elektabilitas. Kesempatan ini dapat menjadi ajang bagi perempuan untuk berkompetisi secara fair dengan laki-laki melalui syarat tiga puluh persen keterwakilan politik perempuan. Tinggal bagaimana perempuan mencitrakan dirinya secara politis sebagai wakil yang pantas dipercaya untuk dipilih apalagi oleh sesama kaumnya. Dan kalaupun harus kalah dalam berjuang, setidaknya perempuan sudah berjuang dengan penuh daya dan gugur secara terhormat.

(Penulis adalah Wakil Ketua II dan dosen tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, dan anggota PELANTA NIA: 201307015)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: