Politik Hukum Sarat Syariat

Politik Hukum Sarat Syariat

Cara yang pertama dibangun dalam sebuah pemikiran bahwa islam sebagai agama rahmatan lil alamin, adalah satu-satunya  agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Dasar pemikiran ini sangat lekat hubungannya dengan aliran pendukung teori hukum alam, dimana terdapat doktrin lawas yang mengatakan setiap sistem hukum berasal dari satu entitas hukum. Walupun saat ini kenyataannya hukum selalu dikotak-kotakkan secara teritorial, apalagi untuk negara semacam Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, adat, dan agama.

 

Sedangkan jalan yang lainnya berarti, di masyarakat harus terjadi dahulu hal-hal yang tidak diharapkan untuk memberikan legitimasi kepada politisi yang mendukung nilai islam mengakar dalam hukum nasional agar berani menerapkan aturan syariat. Walaupun perisitiwa yang tidak diharapkan tersebut hanya sebagai justifikasi agar penerapan nilai islam dapat dieksekusi.

 

Di Indonesia sendiri, bentang sejarah penerapan nilai islam dalam peraturan perundang-undangan ibarat pisau bermata dua. Kita boleh bangga karena beberapa peraturan perundang-undangan yang ada sudah berasas islam dan mendukung cita-cita islam untuk mencapai kemaslahatan. Namun kita juga tidak dapat memungkiri kalau prestasi alim ulama maupun politisi islam dalam memperngaruhi substansi hukum relatif masih sangat lemah mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama islam.

 

Undang-Undang Syariat

Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan satu potret keberhasilan alim ulama dan politisi dalam mewujudkan nilai islam menjadi salah satu sendi kehidupan bernegara. Tidak dapat dipungkiri undang-undang ini pun sangat kental dengan aturan islam yang diajarkan oleh Rasullulah SAW. Adanya integrasi antara hukum agama dan hukum positif menandakan bahwa hukum islam bermain penting dalam undang-undang ini.

 

Walaupun pada tahun 2012 lalu, alim ulama dan para politisi islam, serta kita masyarakat muslim Indonesia pada umumnya sempat ketar-ketir ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 43 undang-undang yang lahir dalam masa orde baru ini. Anak yang lahir luar kawin yang pada awalnya hanya memiliki hubungan waris dengan pihak keluarga ibunya dihapuskan. Karena Mahkamah Konstitusi menilai pasal ini betentangan dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum yang dianut Undang-Undang Dasar 1945.

 

Selain itu, putusan tersebut juga memberikan penafsiran bahwa kawin bercatat yang menjadi inti dari undang-undang ini hanya bersifat administrasi saja. Itu artinya dicatatkan atau tidak suatu perkawinan ke lembaga terkait tidak akan mereduksi hakikat beserta akibat perkawinan tersebut. Hal ini menandakan upaya masyarakat islam dalam mengintegrasikan hukum agama ke hukum nasional mendapat pertentangan.

 

Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi juga merupakan bukti bahwa nilai-nilai islam telah berkembang dan berhasil melewati halang badai di DPR. Walaupun disatu sisi kita kerap kebingunan, karena penerapan undang-undang ini dinilai masih setengah hati. Masalah orang pedalaman yang menggunakan koteka adat adalah salah satu alasan penentang keberadaan undang-undang ini. Karena sejurus dengan hal tersebut konstitusi telah mengamanatkan dalam pasal 18b (2) untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: