>

Warga Tiga Desa Tolak HTI

Warga Tiga Desa Tolak HTI

JAMBI- Masyarakat desa Olak Besar, Hajran dan Jelutih Kecamatan Bathin XXIV mendatangi Kantor BLHD dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.  Kedatangan warga desa ini terkait dengan rencana kehadiran PT Rimba Tamanan Industri (RTI), calon perusahaan hutan tanaman yang  akan beraktifitas di ketiga desa tersebut.

Warga resah, mengingat areal yang akan dijadikan HTI merupakan kebun karet tua masyarakat. “Kami kaget, kok tiba-tiba sudah ada rencana HTI yang lokasinya di kebun karet kami,”ujar kepala Desa Jelutih, Suhabli.

Menurutnya, selama ini kawasan seluas 8.156 hektar yang dimohonkan perusahaan,  sudah sejak lama dikelola warga desa.  Buktinya, di kawasan tersebut tanaman karetnya sudah tua dan bahkan akan segera di replanting. “Kami harap pemerintah segera membatalkan rencana ini,”sebutnya.

Masyarakat berharap perusahaan yang memasuki proses Amdal tersebut,  tidak ditindaklanjuti dan ditolak Amdalnya karena kawasan tersebut memang tidak layak untuk jadi kawasan HTI. “Dimana lagi kami akan berusaha, dibagian atasnya sudah HTI Wana Perintis,  masak semua kawasan tersebut juga mau dijadikan HTI,”sebut Suhabli.

Sebelumnya, begitu mendengar informasi akan adanya HTI ini, masyarakat ketiga desa ini sudah mengajukan penolakan mereka kepada menteri kehutanan, sejak September lalu. Hanya saja belum direspon menteri.

Yang ada berikutnya adalah adanya SP 1 dari menteri kehutanan yang artinya perusahaan boleh melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu proses Amdal.  “Makanya kami mengajukan penolakannya ke BLHD, selaku lembaga yang akan memproses Amdal perusahaan ini,”sebutnya.

Terpisah Asisten Koordinator program KKI WARSI Ade Chandra menyebutkan, kehadiran HTI baru hanya akan memperpanjang konflik lahan di Kabupaten Batanghari.  Ketiga desa ini sejak 2007 telah berkonflik dengan HTI Wana Perintis yang lokasinya lebih diatas dari HTI yang akan lahir.

Hingga kini konflik dengan Wana Perintis belum selesai. “Kehadiran HTI baru ini sangat potensial menghadirkan konflik baru,”sebut Ade.

Dia menilai, pemerintah ceroboh kalau sampai meloloskan permohonan PT RTI. Jambi sudah sangat rawan dengan  konflik lahan. Data KKI Warsi mencatat sepanjang 2012 terjadi 35 kasus konflik lahan dengan luas lebih dari 135.686,6 hektar dengan melibatkan masyarakat dari berbagai kabupaten. Konflik ini sebagian besar merupakan konflik lanjutan tahun-tahun sebelumnya. 

Koflik yang timbul ini merupakan wujud kurang dilibatkannya masyarakat dalam mengelola sumber daya alam. Catatan WARSI, katanya, hingga kini di Jambi sudah ada 19 HTI definitif dengan luas areal kelola 696.489 hektar.

Jika di total dengan pencadangan dan direkomendasikan Gubernur maka untuk HTI mencapai 776.652 hektar. Kondisi ini berbanding terbalik dengan dengan kawasan kelola masyarakat yang hanya 64.384 melalui sekam hutan adat dan hutan desa.

Tidak hanya itu, menurut Ade bertambahnya HTI di Jambi juga akan menyebabkan kualitas lingkungan di Jambi akan semakin turun. Sehingga potensi bencana alam juga semakin meningkat.

Untuk diketahui, HTI pola pembukaan lahannya melakukan land clearing yang artinya akan menebang habis semua tanaman dipermukaan tanah untuk kemudian diganti dengan tanaman baru yang diinginkan perusahaan.

Proses Land Clearing ini akan menyebabkan tanah tidak akan menyerap air hujan, tapi menjadikannya aliran permukaan. Sehingga meningkatkan potensi banjir. “Untuk itu kami berharap pemerintah berhati-hati dan selektif dalam mengeluarkan izin jangan sampai persoalan pengelolaan sumber daya alam di Jambi semakin rumit dan berkepanjangan, hanya karena ingin mengakomodir segelinitr pengusaha,”sebutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: