Tersingkirnya Suara Publik

Tersingkirnya Suara Publik

Oleh: Arif Novianto

                Demokrasi yang menekankan kekuasaan ditangan rakyat (demos), seolah tak berlaku lagi di konteks iklim politik Indonesia sekarang ini. Demokrasi telah dibajak para elit, sedangkan rakyat hanya menjadi penonton didalamnya.

                Suara rakyat hanya teraplikasikan dikantong-kantong setiap ajang kontestasi politik, itupun bukan suara murninya. Namun sudah diolah dengan iklan-iklan, politik uang, dan berbagai opini di media massa. Akhirnya didalam setiap aras pengambilan kebijakan, suara rakyat pun absen didalamnya. Mereka telah terwakili oleh wakilnya di legislatif dan eksekutif yang sering kali tidak menjadi perwujudan suaranya.

Opini Elit

                Didalam pembuatan kebijakan, policy makers (Pembuat kebijakan) memanifestasikan rakyat yang merupakan target group kebijakan sering kali melalui penyaringan opini publik. Opini publik ini sendiri merupakan pendapat atau sikap para konstituen (warganegara dengan hak pilih) terhadap berbagai isu tentang penyelenggaraan pemerintahan. Tetapi kemudian pertanyaannya adalah apakah publik benar-benar dapat berpendapat dan beropini serta menentukan pilihannya? Murnikah pendapat dan pilihan dari publik tersebut?

Bagi Plato, opini publik itu tidaklah penting. Elit atau penguasa memiliki pengetahuan yang jauh melampaui pengetahuan rakyat kebanyakan. Karena itu mereka lebih mampu untuk membikin keputusan yang lebih baik dibandingkan rakyat yang cenderung kurang memiliki pengetahuan luas.

Tetapi pendapat Plato tersebut ditentang oleh Aristoteles. Aristoteles menganggap bahwa opini publik itu penting. Dikarenakan wisdom atau kebijaksanaan publik lebih superior ketimbang sekelompok kecil penguasa. Dan juga publik adalah orang yang harus menerima setiap keputusan dari pemerintah, maka disanalah mereka pasti tau dan dapat berpendapat sesuai keinginannya.

Pendapat kedua filsuf tersebut memang ada kebenaran dan ketidakbenarannya. Mereka melupakan bahwa politik itu tidak berada diruang hampa. Didalam demokrasi liberal dimana disokong oleh sistem ekonomi kapitalis didalamnya, opini publik yang merupakan suara rakyat telah kehilangan roh-nya atau kedaulatannya.

Opini publik tersebut secara tidak langsung didekte oleh para elit melalui kekuatan ekonomi-politiknya. Dengan kekuatan ekonomi-politiknya, para elit dengan mudah mempermainkan pendapat dari publik melalui informasi-infomasi yang sebelumnya sudah diolah sesuai kepentingan elit tersebut. Pencekokan informasi-informasi yang telah menciptakan kesadaran palsu tersebut yang paling utama dilakukan melalui media-media massa. Tidak mengherankan ketika kebijakan yang diambil pun tak pernah mengarah kepada kepentingan rakyat dan para wakil yang sudah terpilih didalam ajang kontestasi politik juga tidak sedikitpun merepresentasikan keinginan dan harapan dari rakyat.

Demokrasi dan Kapitalisme

                Pada dasarnya demokrasi itu bertentangan dengan Kapitalisme. Karena demokrasi lebih menekankan pada kesetaraan sedangkan Kapitalisme lebih menekankan pada kebebasan hak milik pribadi dengan pranata pasar bebas didalamnya.

                Kontradiksi dari demokrasi dan Kapitalisme inilah ketika dipaksa untuk berjalan beriringan telah menciptakan pergeseran pada demokrasi. Kesetaraan yang menjadi roh dari demokrasi pun menjadi buram.

                Artinya kesetaraan didalam demokrasi tersebut telah hancur berantakan dibombardir oleh kekuatan ketimpangan ekonomi yang tumbuh subur dalam sistem Kapitalisme. Dengan kekuatan ekonominya, para elit (yang kekuatan ekonominya sangat besar atau kaya) seakan berjalan seribu langkah didepan dibanding dengan para rakyat biasa (yang kekuatan ekonominya lemah atau miskin) didalam ajang kontestasi politik. Karena para elit tersebut dengan kekuatan uangnya dapat melakukan monopoli terhadap sistem informasi publik serta menguasai perkakas-perkakas yang dengan mudah mempengaruhi pilihan politik publik itu sendiri.

                Sehingga kemurnian suara publik pun akhirnya hampir dipastikan tidak ada. Karena suara publik telah dimasak oleh para elit dengan kekuatan ekonomi mereka. Seperti didalam ajang kontestasi politik, bagaimana mungkin publik dapat menentukan suara murninya apabila mereka dihadapkan pada ketimpangan informasi para calon dalam ajang kontestasi politik tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: