Pemekaran Wilayah : Antara Harapan dan Tantangan

Pemekaran Wilayah : Antara Harapan dan Tantangan

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama ayat 3 yang menyatakan bahwa,”pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”, dan ayat 4 menyebutkan “pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”.

Pembentukan daerah otonomi baru juga harus memenuhi persyaratan administratif,, tehnis dan fisik kewilayahan. Untuk pembentukan Kabupaen/kota harus mendapat persetujuan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/walikota bersangkutan, Persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Kemudian didukung syarat tehnis seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan. Kemudian syarat fisik wilayah yang dimaksud meliputi 5 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, 4 kecamatan untuk pembentukan kota, dan lima kabupaten untuk pembentukan Provinsi.

 

 Catatan Kritis.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam Republika Co.Id. tanggal 13 mei 2013 menjelaskan, dari 57 daerah otonomi baru, sebanyak 78% di antaranya belum memperlihatkan hasil kinerja pemerintahan yang baik dan memiliki rapor merah. Alokasi anggaran di daerah saat ini 72% dana APBD digunakan untuk belanja aparaturnya. Belanja itu terkait penambahan pegawai negeri sipil yang tidak proporsional, hanya 28% saja yang digunakan untuk belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.

Pernyataan Menteri Gamawan Fauzi mencerminkan struktur anggaran yang besar pasak dari pada tiang. Hal ini berdampak kebutuhan anggaran daerah terus meningkat, sedangkan arus kas penerimaan tidak bisa mengimbanginya, akibatnya daerah otonomi baru lebih banyak tergantung dengan dana alokasi umum (DAU) dan dana perimbangan. Sementara itu lemahnya kreativitas pemerintah daerah dalam menggali sumber pendapatan asli daerah (PAD), yang hanya berkutat pada pola pola tradisional, seperti perluasan obyek retribusi dan perizinan.

Selanjutnya, hasil survey Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (2013: 2) mencatat sejak 2001 sampai sekarang menemukan enam faktor penghambat tata kelola ekonomi daerah, terbatasnya infrastruktur, lembahnya kebijakan pengembangan usaha, sulitnya akses lahan dan kepastian hukum, tidak transfarannya interaksi pemerintah kabupaten dengan pelaku usaha, biaya pungutan dan trasaksi tinggi, pemberian izin usaha yang berbiaya tinggi dan ruwet. Dan yang paling krusial adalah makin maraknya indikasi korupsi di daerah daerah pemekaran dan otonomi Baru.

Bila di analisis syarat tehnis administratif untuk pemekaran wilayah tidaklah begitu sulit, namun  hambatan utama adalah syarat tentang kemampuan keuangan dan potensi daerah yang nantinya menjadi sumber pembiayaan pembangunan kabupaten yang baru di mekarkan tersebut. Faktor inilah yang sering terabaikan oleh elite dan tokoh tokoh masyarakat dalam mengusulkan pemekaran wilayah. Oleh karenanya tuntutan pemekaran wilayah harus dilandasi oleh niat yang luhur untuk mensejahterakan masyarakat, bukan untuk menambah terbukanya peluang jabatan  politis baru yang justru hanya membebani anggaran negara. Bila pemekaran wilayah akan menimbulkan beban anggaran, kenapa harus dipaksakan?.

(Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN STS jambi dan Wakil Koordinator KOPERTAIS Wilayah 13 Jambi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: