Menggugat Gelar Akademik Koruptor

Menggugat Gelar Akademik  Koruptor

Oleh: Aminuddin

Tertangkapnya salah satu produk kampus Dr M. Akil Mochtar dan Chairun Nisa kian menambah rentetan akademisi yang tersangkut kasus korupsi. Kasus itu menguatkan ingatan kepada kita bahwa gelar akademik tidak menjamin untuk tidak melakukan tindakan korupsi.

Runtuhnya etika dan moral para akademisi yang tersangkut koruptor  tidak serta merta berasal dari minimnya pendidikan anti korupsi di Kampus. Melainkan krisisnya moral dari masing-masing individu sehingga gelar yang diperoleh di akademik dijadikan alat untuk menggerus uang negara. Parahnya lagi, rata-rata para koruptor berasal dari orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi, bahkan sampai memperoleh gelar Doktor. Ketua Mahkamah Konstitusi non aktif Akil Mochtar bergelar doktor di bidang hukum Universitas Padjajaran, dan politisi Partai Golkar Chairun Nisa juga bergelar Doktor pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta yang juga manjabat sebagai dosen Universitas Palangkaraya, menjadi bukti kesekian kalinya bahwa gelar Doktor tidak serta-merta menjadi panutan untuk jauh dari praktik korupsi.

Sebelum itu, ada salah satu guru besar perguruan tinggi Prof. Dr. Rudi Rubiandini. Tertangkapnya guru besar tersebut kian menambah banyaknya koleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap para akademisi yang tersangkut korupsi. Beberapa bulan lalu, KPK juga telah menangkap Andi Alifian Mallarangeng, akademisi dan juga dosen di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta, yang kemudian terjun ke politik dan menjadi juru bicara presiden, dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang. Akibatnya, ia dicopot dari jabatannya sebagai Menpora.

Belum sampai disitu saja, Rusadi Kantaprawira, saat itu anggota KPU. Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, ini tersandung kasus korupsi pengadaan tinta sidik jari Pemilu 2004. Ia dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri juga tidak luput dari korupsi. Guru besar tersebut tersandung dana nonbujeter saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Rokhmin divonis 7 tahun penjara. Selanjutnya Miranda Swaray Goeltom, Guru Besar UI ini terlibat suap pemberian cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR pada 2004. Dan masih banyak lagi akademisi dan guru besar lainnya yang terjerat korupsi.

Dari sekian banyaknya warga kampus yang tersandung kasus korupsi, menambah catatan hitam bahwa warga kampus juga tidak luput dari lingkaran syetan yang bernama korupsi. Lembaga yang di desain untuk mencetak manusia berakhlak dan berintegritas tinggi justru tidak luput dari kasus korupsi. Jika dulu korupsi hanya dilakukan oleh beberapa induvidu dan kelompok saja, namun sekarang hampir semua ranah publik dirasupi kejahatan extra ordinary crime ini.

Runtuhnya moral warga kampus tersebut jelas menjadi pukulan telak bagi kita semua. Sekali lagi kita harus menelan pil pahit atas kejadian itu. Dosen, doktor, professor ataupun guru besar yang seharusnya menjadi teladan bagi generasi bangsa, malah mencerminkan rekam jejak hitam. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka, perilaku seperti itu sudah tidak layak lagi menjadi panutan bagi generasi muda.

Pada dasarnya, ilmu yang mereka peroleh bukanlah  penyebab dari mereka melakukan tindakan korupsi, melainkan penyalahgunaan kepintarannya sehingga tidakan tersebut merugikan Negara. Ilmu yang mereka peroleh hanya dipergunakan untuk mengerus aset bangsa. Mereka tidak mempergunakan kecerdasannya untuk hal-hal yang positif.

Tetapi sayangnya, sampai saat ini belum ada satu orang pun yang dicabut gelarnya akibat dari ulahnya melakukan tindakan korupsi. Ini menjadi ironis mengingat koruptor tidak kalah jahatnya dengan orang-orang yang melakukan tindakan kejahatan plagiarisme (penjiplakan). Kebanyakan gelar yang dicabut hanyalah orang-orang yang melakukan penjiplakan. Sedangkan para koruptor masih jauh dari itu.

Oleh karena itu, tidak pantas kiranya para koruptor mengenakan gelar dari akademik yang disandangnya. Gelar akademik terlalu mulia untuk orang-orang yang melakukan tindak kejahatan luar biasa ini. Seyogyanya gelar itu dicopot sebagai hukuman dari perilaku tercelanya.

(Peneliti Sosial Politik Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: