Tetap Berlatih Di Sela-Sela Kemoterapi

Tetap Berlatih Di Sela-Sela Kemoterapi

 Selama menjalani kemoterapi, Laksmi masih sempat menari. \"Saya sempat dua kali menari waktu menjalani kemo. Teman-teman sudah paham, kalau saya pas latihan tiba-tiba hilang, pasti lagi huek (muntah),\" ungkapnya.

 Kemoterapi dan radiasi yang dijalani Laksmi memakan waktu sekitar setahun. Pada 2010 cobaan datang lagi. Timbul benjolan di kelenjar tiroid. Akhirnya seluruh tiroid Laksmi harus diangkat. Dia pun diwajibkan minum obat seumur hidup. \"Kalau sampai lupa minum obat, saya bisa kejang-kejang. Selama beberapa lama suara saya juga hilang,\" katanya.

 

Laksmi tidak patah semangat. Dia bergabung dengan Cancer Information and Support Center (CISC). Dia mendapat tawaran dari Sri Suharti untuk bergabung di CISC. \"Saya diajak untuk mengajarkan teater dan tari ke para survivor kanker di CISC,\" ujarnya.

Meski tanpa honor, Laksmi tetap antusias menerima tawaran tersebut. Latihan digelar seminggu sekali. Waktu latihan bisa bertambah jika mereka mendapat banyak order tampil.

Jauh sebelum terkena kanker Laksmi pernah diajak sahabatnya, mendiang Harry Roesli, mengikuti workshop di Bandung. Lokakarya dengan tema pendampingan para pasien kanker dan AIDS itu menghadirkan pembicara ahli dari Jerman. \"Workshop-nya seminggu. Habis teori, langsung dipraktikkan,\" katanya.

Laksmi menyadari bahwa pendampingan untuk mental healing bagi penderita kanker sangat penting. Karena itu, dia bergabung dengan CISC. Meski belum mampu melakukannya selama 24 jam, dia terus berupaya memberikan pendampingan bagi para pasien kanker ataupun survivor.

Laksmi mengakui tidak mudah melatih teater dan tari bagi para survivor kanker. Sejumlah tantangan harus dihadapi. Mau tidak mau, para survivor kanker itu memiliki beban. Mereka juga awam dengan dunia teater.

\"Survivor kanker itu memikirkan banyak hal. Kadang mereka tidak bisa fokus. Kadang mereka santai, latihan sambil terima telepon. Terus, ada lagi yang datang terlambat, eh langsung makan,\" ujarnya.

Laksmi paham bahwa tubuh penderita kanker tidak lagi sempurna. Karena itu, mereka perlu dilatih kembali agar bisa berfungsi normal. Namun, hal tersebut tidak bisa serta-merta diterapkan Laksmi saat mengajarkan teater maupun tari. Dia harus lebih dulu menumbuhkan minat para survivor kanker terhadap seni. \"Saya kasih mereka naskah dulu, lalu mereka eksplore sendiri. Kalau ada yang nggak paham, baru mereka bertanya,\" ujar perempuan asal Jogjakarta itu.

Cara Laksmi cukup ampuh. Rasa ketertarikan para survivor kanker terhadap seni teater dan tari meningkat. Makin banyak yang bergabung. Setidaknya ada lebih dari 20 survivor kanker yang aktif. Bahkan, ada yang terus berlatih di sela-sela jadwal kemoterapi atau radiasi.

Sejauh ini ada lima naskah yang dihasilkan. Di antaranya, Sumi Sang WTS (Wanita Tetek Satu), Pain, Birth and Hope, serta Dudung dan Kambing-kambingnya. Di setiap naskah tersebut Laksmi selalu menyisipkan informasi seputar kanker. Dia juga menyertakan pengalaman para survivor kanker CISC.

Laksmi mengajar sekaligus menyutradarai seluruh operet dari lima naskah miliknya tersebut. Alhasil, grup teater CISC terus berkembang. Dari yang awalnya hanya tampil di lingkungan internal, kini operet CISC sudah merambah sejumlah rumah sakit dan pusat perbelanjaaan di ibu kota. Hampir di setiap perayaan hari besar keagamaan, mereka selalu ramai order. Grup teater CISC juga beberapa kali diundang tampil di luar kota. Mereka rutin tampil dalam acara tahunan breast cancer awareness di sebuah mal di Jakarta.

\"Waktu pentas monolog di London School, anggota kami ada yang masuk lima besar. Intinya, informasi yang disebarkan melalui seni jauh lebih menarik dibanding cuma seminar-seminar,\" kata Laksmi.

(*/c2/ca)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: