>

Politik Hukum Pers Era Reformasi

Politik Hukum Pers Era Reformasi

Oleh :   Sjofjan Hasan.

Berakhirnya pemerintahan Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu yang berembus demikian kuat semenjak mei 1998. Demikian juga, dalam politik hukum, termasuk bidang kemerdekaan Pers. Gejala tuntutan politik hukum pers pada era  reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala awal kemerdekaan Indonesia tahun 18 Agustus 1945.

            Pembaharuan politik hukum pers yang di inginkan :

  1. Keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum pers Represif kearah produk hukum Responsif.
  2. Meng elu elukan kemerdekaan Pers sebagai Pilar Demokrasi.
  3. Sistem politik yang berlaku demokratis.

Gejala perubahan nilai nilai baru dalam bidang Pers pada awal konfigurasi politik demokrasi dilakukan dengan proses yang sangat Demokratis. Realitas perubahan di era pasca  Orde Baru ini terjadi berbagai perubahan yang sangat cepat. Reformasi pada dasarnya upaya pembaharuan dan penyempurnaan hal-hal yang dinilai usang dan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan keadilan hukum. Sebagai tonggak penting reformasi yang dilakukan adalah di tandai dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pertama setelah kejatuhan Orde Baru, yakni Pemilu tahun 1999.

      Salah satu  produk hukum lembaga legislatif pada awal era reformasi adalah Hukum Pers yang Responsif, yaitu Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999.  UU Nomor 40 th.1999 ini dapat dikatakan sebagai Sapu Jagatnya kemerdekaan pers Indonesia, setelah 28 tahun di belenggu oleh rezaim orde Baru. Dikatakan sebagai Sapu Jagat karena UU ini menghapus semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada Era Orde Baru, seperti :

  1. Pasal 9 ayat 2 UU No.40 th.1999: meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers.
  2. Pasal 4 ayat 2 UU No.40 tahun 1999 : menghilangkan ketentuan sensor dan pembredelan pers.

Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut diatas , UU No.40 Th.1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut:

  1. Pasal 2 UU Nomor 40 Th.1999: kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
  2. Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 1999 : Kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dalam rangka menegakan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa.

Pencabutan yuridis belenggu kemerdekaan pers Orde Baru itu ternyata menimbulkan euforia

dan pestapora kemerdekaan pers, karena setiap orang bebas mendirikan dan penerbitan tanpa harus memiliki SIUPP, serta di jamin tidak ada sensor dan pembredelan. Akhirnya penerbitan pers tumbuh bagai jamur di musim hujan.

            Kemerdekaan pers yang semula di cita citakan dapat menjadi alat untuk melakukan kontrol terhadap ke bobrokan masyarakat dan penguasa sehingga tercipta kehidupan masyarakat dan demokrasi yang lebih baik. Sayangnya euforia kebebasan ini  terkesanberubah menjadi kebablasan, bergulir tanpa kendali hukum dan etika. Adakalanya pers di jadikan instrumen propaganda partai politik atau kepentingan kelompok tertentu.Suasana perpolitikan di Indonesia saat ini sedang semaraknya karena adanya sistim pemilihan langsung untuk Presiden, Kepala DarahTk,I/Tk.II, untuk DPR/DPRD.  Yang berkembang sekarang dengan semarak adalah Politik Pencitraan, maka para calon berusaha bagimana mengikat hati rakyat dengan pembentukan citra yang positif, karena citra calon akan mempengaruhi sikap rakyat yang akan memilih atau tidak memilihnya. Maka untuk ini para calon merangkul media cetak dan elektronik, bahkan lembaga survey juga dimanfaatkan, pemuatan hasil survey yang menguntungkan calon di media, dengan komentar komentar yang menaikan citra calon, dan mempengaruhi pembaca. Ditambah dengan melakukan kegiatan kegiatan yang sifatnya menunjukan sifat dermawan dan kepedulian kepada masyarakat banyak, dengan memberikan bantuan sembako, bahkan pemberian dana pada warga miskin, semuanya itu di liput Media Cetak dan Elektronik.  Maka yang akan terpilih nantinya adalah orang yang citranya lebih tinggi ketimbang yang punya kemampuan dan keahlian.Inilah bedanya dalam hal pemilihan seorang Hakim Agung, yang dipilih berdasarkan kemampuan dan keahliannya, serta moralitasnya. Pemilihan dilakukan dengan melalui seleksi,ujian dan Fit Propertest sebelum dipilih.

Dan tidak menutup kemungkinan terjadi perselingkuhan antar media dan calon, dengan kata lain media dan calon bagai hubungan antar kekasih. Maka media akan memberitakan lebih banyak dan sering hanya calon tertentu setiap kesempatan, kalau perlu tiap hari mempublikasikan, sisi positif si calon. Perilaku lebih alim,perfomance yang simpatik, interaksi calon dengan masyarakat yang menggambarkan sangat dermawan dan belas kasihan dengan masyarakat miskin. Yang dikhawatirkan, akhirnya dengan sistim pencitraan oleh media, mempengaruhi sikap rakyat dalam melakukan pemilihan, dasar pemilihan  hanya berdasarkan like/dislike,yang disenangi/yang tidak disenangi.Bukan berdasarkan kompetensi dan profesional seseorang untuk menjadi pempimpin atau wakil mereka di DPR/DPRD.

Disisi lain, gejala penghukuman terhadap pers juga terjadi akhir akhir ini dinilai terlalu berat.. Penghukuman yang berat dalam kasus kasus pers, hukuman maksimal yang di jatuhkan  di nilai dapat membunuh kemerdekaan pers.. Secara politis pers ditempatkan sebagai salah satu pilarnya demokrasi, bahkan di era reformasi pers di Indonesia menjadi  pilar pertama demokrasi. Di era reformasi ini, untuk menjaga penyalah gunaan praktek kemerdekaan pers,dan penghukuman terhadap praktisi pers yang terlalu berat dan tidak memenuhi rasa keadilan, maka pers sepatutnya di kawal, dilindungi oleh publik melalui Dewan Pers  yang Independent. Dan sebaliknya obyektifitas dan netralitas berita tetap di kedepankan secara proporsional tanpa memihak kepada salah satu kepentingan, walaupun pers diberikan kebebasan yang seluas luasnya di era reformasi. Dengan demikian kepercayaan, simpati dan berempati kepada insan pers akan lebih meningkat lagi.

(* Penulis. Ketua STIE Muhammadiyah Jambi, Anggota PELANTA, NIA.20130725)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: