>

Kesenjangan Antardaerah Makin Mencolok

Kesenjangan Antardaerah Makin Mencolok

Catatan Akhir Tahun DPD

 JAKARTA - Otonomi daerah yang dijalankan di era reformasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan desentralisasi. Namun, fakta menunjukkan bahwa makin besarnya ketimpangan antardaerah disebabkan manajemen ekonomi nasional yang belum merata.

 Ketua DPD Irman Gusman menyatakan, data 2012 menunjukkan masih adanya kesenjangan daerah, terutama wilayah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur. Total produk domestik bruto (PDB) Indonesia 57,6 persen dihasilkan di Pulau Jawa dan Bali, 23 persen disumbang Pulau Sumatera, dan hanya 9,8 persen dari Kalimantan. Kawasan timur lain seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya menghasilkan 9 persen.

 \"Fakta ini menunjukkan bahwa 80 persen kegiatan perekonomian berlangsung di Pulau Jawa dan Sumatera serta hanya 20 persen di kawasan timur Indonesia,\" ujar Irman dalam acara refleksi akhir tahun 2013 di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (24/12).

 Fakta tersebut berimbas pada daya saing masing-masing daerah. Irman menyebut, 60 persen dari total 183 kabupaten yang merupakan wilayah tertinggal berada di timur Indonesia. Persentase penduduk miskin di wilayah timur adalah dua kali lebih tinggi daripada rata-rata nasional. \"Indeks pembangunan manusia (IPM) di Nusa Tenggara Barat dan Timur, Papua, dan Papua Barat juga berada di peringkat paling bawah,\" ujarnya.

 Irman menyatakan, kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi daerah juga menimbulkan disparitas, terutama melonjaknya harga barang kebutuhan pokok di daerah tertinggal. Wilayah Indonesia Timur harus merasakan tingginya harga bahan pokok dengan pendapatan masyarakat yang rendah.

 \"Harga semen di Papua 20 kali lebih mahal daripada di Jakarta, harga minyak makan di Nabire 2,5 kali lebih mahal ketimbang di Surabaya,\" ujarnya memberikan contoh.

 Irman menilai, meningkatkan daya saing daerah merupakan solusi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Manajemen perekonomian nasional harus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal. Hal itu penting karena tidak hanya negara, daerah juga harus siap menghadapi globalisasi.

 \"Surabaya nanti tidak lagi bersaing dengan Medan atau Makassar, tetapi dengan Johor di Malaysia atau Davao di Filipina,\" jelasnya.

 Irman juga menyinggung tentang ekonomi Indonesia yang dalam lima tahun terakhir tumbuh rata-rata di atas 6 persen atau tertinggi kedua setelah Tiongkok di Asia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu ternyata baru dinikmati sebagian kecil rakyat Indonesia.

 Menurut Global Wealth Report yang dilansir Credit Suisse akhir tahun silam, pada 2012 Indonesia tercatat memiliki 104 ribu orang kaya. Pada 2017 jumlah itu diprediksi meningkat 99 persen atau menjadi 207 ribu orang.

  \"Paradoks dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, selama 10 tahun terakhir ternyata ketimpangan pendapatan di Indonesia justru meningkat,\" tandasnya.

(bay/c7/tom)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: