Jernang dan Suku Anak Dalam (SAD)

Jernang dan Suku Anak Dalam (SAD)

Oleh:  Dr Revis Asra, SSi. MSi

Menyimak berita di Jambi Ekspres pada hari Sabtu, 28 Desember 2013 tentang “Mahasiswa UNJA Disandera SAD”, menggelitik penulis untuk membuat tulisan: “Jernang dan Suku Anak Dalam (SAD)”. Permasalahan mahasiswa yang disandera SAD perlu dilihat dari dua sisi, sisi SAD dan dari sisi mahasiswa UNJA.

 

                Seberapa pentingkah jernang bagi SAD? Kalau diantara pembaca pernah menonton serial Ethnic di TV beberapa waktu lalu, yang menayangkan tentang kehidupan SAD di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), pembaca tentu dapat menyimpulkan, oh ternyata jernang sangat penting bagi kehidupan mereka. Di serial Ethnic tersebut dapat dilihat betapa sumringahnya wajah seorang bapak SAD yang sedang memegang “sekeping” getah jernang yang siap untuk dijual. Saat itu seorang reporter Ethnic menanyakan ke bapak SAD, berapa harga getah jernang tersebut, sambil tersenyum bapak SAD menyebutkan nominal 300 ribu rupiah. Jadi tidak dapat dipungkiri, bahwa jernang merupakan salah satu sumber penghasilan SAD dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

 

                Berdasarkan pengalaman penulis, saat survey ke beberapa hutan di Jambi dan Riau dalam rangka penelitian jernang  dan pengalaman berinteraksi dengan suku-suku pedalaman yang mendiami kawasan hutan tersebut. Penulis juga menyimpulkan, bahwa jernang sangat berarti bagi kehidupan suku-suku pedalaman tersebut. Saking berartinya, mereka memiliki hukum adat untuk tumbuhan jernang ini. Hukum adat berupa sejumlah denda yang harus dibayarkan oleh orang yang ketahuan menebang batang jernang, hal ini bertujuan dalam upaya untuk menjaga pelestarian jernang yang ada di hutan. Hukum adat tidak hanya berlaku bagi warga sesama suku pedalaman tetapi juga masyarakat luar yang ketahuan melanggar aturan. Besarnya denda yang dikenai bagi penebang jernang berupa harga 1 kg jernang saat itu.

 

                Membaca nominal denda yang diminta oleh SAD tersebut sebagai kompensasi atas jernang yang ditebang oleh mahasiswa UNJA sungguh fantastis, 6 miliar rupiah. Dari mana uang sebesar itu akan dicari oleh seorang mahasiswa, sesuatu yang tidak mungkin.

 

Pertanyaan baru muncul, mengapa sampai semahal itu? Jika kita mengkaji nilai ekonomi jernang, kita akan tahu berapa rupiah yang dihasilkan dari serumpun jernang. Penulis pernah menemukan dalam 1 rumpun jernang berjumlah 68 batang dan dalam 1 batang bisa menghasilkan 5 tandan buah. Jika kita rata-ratakan dalam 1 rumpun yang berbuah 10 batang saja, berarti bisa menghasilkan 50 tandan buah. Rata-rata berat buah per tandan adalah 2 kg. Getah jernang yang dihasilkan dari 1 kg buah adalah 1 ons, maka dari 100 kg buah jernang (50 tandan x 2 kg) bisa dihasilkan 10 kg getah jernang. Harga getah jernang dari pedalaman yang dijual SAD biasanya lebih mahal daripada harga getah jernang yang dijual masyarakat lokal. Menurut pembeli getah jernang, bahwa getah jernang oleh suku-suku pedalaman ini lebih murni, jadi pembeli getah jernang mau membeli seharga 700 - 800 ribu rupiah/kg nya. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam sekali musim berbuah (musim buah 2x setahun), dalam 1 rumpun dapat menghasilkan 7 - 8 juta rupiah. Dapat dibayangkan betapa marahnya SAD ini ketika mengetahui batang jernangnya ditebang.

 

Kalau begitu salahkah sikap mahasiswa UNJA yang menebang batang jernang? Kalau kita berfikir realistis, mahasiswa juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Kemungkinan besar mereka tidak tahu kalau yang mereka tebang itu adalah tumbuhan jernang. Sekilas memang, tumbuhan ini sangat mirip dengan rotan, jadi mahasiswa mungkin beranggapan bahwa ini cuma rotan biasa.  

 

Perbedaan mendasar antara jernang dan rotan, dapat dilihat dari anak-anak daun yang lebih panjang dari rotan dan duri-duri yang terdapat pada tumbuhan ini, tidak hanya terdapat pada pelepahnya, juga terdapat pada ujung daun dan tangkai buahnya. Oleh karena itu tumbuhan jernang sering dianggap sebagai “daemon rhops” atau semak setan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: