Selamat Datang Tahun Politik

Selamat Datang Tahun Politik

Oleh Bahren Nurdin

Tidak diketahui dengan pasti siapa yang mencetuskan pertama kali istilah ‘tahun politik’ ini. Tapi yang jelas istilah ini seakan telah diterima seluruh masyarakat Indonesia. Jadi jika biasanya kita hanya mengenal tahun masehi dan hijriah, sekarang bertambah satu lagi yaitu ‘tahun politik’; ada-ada saja. Saya juga yakin anda tidak memiliki definisi yang jelas apa yang dimaksud dengan ‘tahun politik’. Bahkan ada kemungkinan orang yang mencetuskan istilah ini pun tidak paham istilah ini. Maka agar kita tidak terjebak ‘vicky-nisasi’ (menggunakan kata atau kalimat yang nampak ‘canggih’ dan ‘intelek’ tapi artinya gak jelas) istilah ini kita rumuskan saja sebagai cara untuk menandai bahwa tahun 2014 adalah tahun dimana terjadi beberapa perhelatan politik di tanah air ini. Itu saja, netral dan sederhana.

 

Lebih jauh lagi, saya menilai penggunaan istilah ‘tahun politik’ mengandung makna semacam konstruk pemikiran bahwa tahun ini merupakan tahun yang kritis, yang istimewa, yang melibatkan massa, dan lain sebagainya. Istilah ini secara otomatis disadari atau tidak menanamkan ‘awareness’ di benak rakyat Indonesia bahwa tahun 2014 harus bersiap-siap akan kemungkinan-kemungkinan terburuk akibat gesekan-gesekan yang terjadi saat berlangsungnya pemilihan umum mendatang. Alam bahwa sadar masyarakat Indonesia sudah disiapkan sedemikian rupa. Maka sebenarnya penggunaan istilah ‘tahun politik’ ini terlalu dibesar-besarkan dan didramatisir.

 

Sebenarnya dengan mengatakan ‘tahun 2014 ada pemilu’ saja sudah cukup. Dan semua menjadi netral, biasa-biasa saja. Ketika proses dan tahapan pemilu tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya, ya masyarakat melaksanakannya biasa-biasa saja. Tapi, kembali lagi, dengan istilah ‘tahun politik’ yang telah didramatisir tersebut, seolah masyarakat dibuat cemas, was-was, khwatir, dan lain-lain, bahkan lebih parah lagi para investor mesti menunggu ‘tahun politik’ ini berlalu untuk berinvestasi di Indonesia. Seolah-olah tahun 2014 adalah tahun yang menakutkan. Sebuah konstruk pemikiran yang semestinya tidak diperlukan demi kepentingan ketentraman dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

 

Selayaknya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kedatangan tahun 2014 ini, terutama menghadapi Pemilu mendatang asal semua mekanisme yang akan dilakukan dapat dipersiapkan dengan matang. Sejauh ini, dari perhelatan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah yang menimbulkan percikan ‘api’ chaos seringkali disebabkan oleh ketidaksiapan atau ketidak beresan dari semua tahap yang dilakukan. Akibatnya, sering terjadi ketidakpuasan salah satu pihak dari para kandidat yang bertarung. Pemicu utamanya biasanya adalah kecurangan-kecurangan yang dilakukan pihak-pihak terntentu untuk merebut kemenangan. Maka jika demikian, sebenarnya bukan masyrakatnya yang perlu ditakut-takuti tetapi proses perhelatan politik mendatang yang harus disiapkan dengan matang. Yakinlah, tidak ada rakyat Indonesia ini yang ingin negerinya kacau, chaos, rusuh, dan sebagainya. Mereka menginginkan kedamaian dan kesejahteraan.

 

Di sisi lain, pendidikan politik juga perlu diberikan semaksimal mungkin kepada para calon-calon pemimpin yang ikut serta dalam kontestasi ini, seperti calon legislatif dari daerah hingga pusat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada pemilu 2014 mendatang akan diramaikan oleh ‘pemain-pemain’ pendatang baru. Banyak wajah-wajah baru yang mulai mensosialisasikan diri mereka melalui berbagai media. Ini sebuah penanda demokrasi sedang bekerja di negeri ini. Terlepas dari segudang persoalan yang dihadapi ‘demokrasi’ itu sendiri, paling tidak kebebasan rakyat untuk memilih dan dipilih sedang dijunjung tinggi.

 

Berita bukuruknya, dengan banyaknya pendatang-pendatang baru yang notabenenya adalah politisi muda yang baru ‘mencoba peruntuungan’ di dunia politik, sering kali mereka tidak memiliki pengetahuan, kemampuan, dan etika politik yang baik. Lebih-lebih lagi para calon legislative yang tidak murni dari kader partai tertentu. Artinya, mereka belum sempat dididik di dalam organisasi partai dengan baik dan langsung mencalonkan diri, temasuk yang ‘dimasak’ pakai karbit. Politisi-politisi seperti ini biasanya yang sering kali tidak siap menerima resiko politik. Dalam sebuah pertarungan, kalah dan menang menjadi harga mati. Kedua-dua kemungkinan ini harus siap diterima. Para politisi muda, dengan emosi yang masih labil dan minim pengalaman sering kali tidak siap kalah dan cenderung menghalalkan segara cara untuk mendapatkan kemenangan. Inilah yang harus diwaspadai.

 

Itu artinya, sering kali gesekan yang terjadi di tengah masyarakat dimulai dari kaum elite. Beberapa kali seminar wawasan kebangsaan yang saya isi muncul persoalan ini. Sampai-sampai masyarkat mengatakan ‘jika ada chaos politik di lapangan yang melibatkan massa, itu biasanya ‘dikompori’ bahkan dibiayai oleh elit yang sedang bertarung. Kami tidak menginginkan itu. Ada provokatornya, Pak’. Hal-hal ini harus diredam.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: