Penggerebekan Teroris Ciputat Janggal

Penggerebekan Teroris Ciputat Janggal

  JAKARTA - Aksi penangkapan tersangka teroris di Ciputat, Tangerang Selatan (Tangsel), pekan lalu yang berujung kematian mendapat reaksi keras dari LSM Kontras. Polri diminta untuk lebih transparan dalam pengungkapan maupun proses menyimpulkan seseorang sebagai teroris.

  Kontras menilai aksi baku tembak selama sepuluh jam di malam tahun baru lalu itu janggal. Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar mengungkapkan, pihaknya mendapatkan informasi tentang aktivitas intelijen di lokasi penggerebekan. Beberapa bulan terakhir, sejumlah orang asing yang diduga intel sering berkeliaran di sekitar lokasi penggerebekan. \"Intensitas mereka meningkat sekitar satu minggu sebelum terjadi penggerebekan,\" terangnya kemarin.

  Bahkan, pada malam sehari sebelum penggerebekan, dua orang yang diduga intel sempat mendatangi rumah kontrakan tersebut. Siang sebelumnya, sudah ada beberapa mobil mondar-mandir di kampung tersebut. Mobil diparkir di lapangan bola yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi penggerebekan.

  Dari informasi tersebut, Kontras menyimpulkan bahwa polisi sebenarnya bisa menangkap para pelaku dalam keadaan hidup. Sebab, polisi sudah memiliki informasi yang cukup. Tidak perlu sampai jatuh korban jiwa, kerugian materil, dan trauma masyarakat. Sayangnya, tindakan tersebut tidak dilakukan.

  Pernyataan Haris membantah keterangan Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar yang menyebut penggerebekan tersebut merupakan lanjutan dari penangkapan tersangka teroris Anton di Banyumas, Jateng, pada hari yang sama. Setelah menangkap dan menginterogasi Anton, Densus bergerak ke kontrakan Dayat cs di Ciputat.

  Selain aktivitas intelijen, Kontras juga menemukan kejanggalan-kejanggalan lain. Di antaranya, evakuasi warga yang berlangsung sejak siang dan penembakan terhadap Dayat sekitar 200 meter dari rumah. Ada juga informasi terkait dengan keberadaan bom yang dilempar keluar dan meledak.

  Haris mengatakan, pihaknya menyimpulkan keterangan polisi tidak sesuai fakta di lapangan. Dengan demikian, patut diduga ada pelanggaran prosedur penindakan terhadap para terduga teroris yang berujung pada pelanggaran HAM.

  Hal senada diungkapkan Peneliti Terorisme Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawardaya. Menurut dia, kegiatan aparat di Ciputat bukanlah kegiatan penegakan hukum, melainkan sebagai shock teraphy semata. Terutama, bagi kelompok yang masih memiliki keinginan berjihad maupun melawan Pemerintah.

  \"Pemerintah cenderung mengikuti imbauan Amerika Serikat dalam war on terror (perang melawan teror),\" ujarnya. Karena itu, shock teraphy tersebut sepertinya memang bagian dari program deradikalisasi untuk membantu program pemberantasan terorisme global.

  Mustofa menuturkan, dibandingkan peralatan para tersangka teroris, persiapan yang dimiliki Densus 88 jauh lebih canggih. Mulai rompi antipeluru, senjata canggih, hingga robot pendeteksi. Maka, mustahil mereka bisa kecolongan. Kalau ujungnya membantai, tentu peralan itu tidak diperlukan. Cukup membawa senjata serbu serta bom pelumat.

  \"Saya tidak pernah dengar Densus melumpuhkan terduga teroris menggunakan teknologi sederhana. Misalnya, gas bius. Sederhana sekali,\" tuturnya. Gas bius bisa membuat para terduga pingsan sehingga polisi bisa dengan mudah mengevakuasi mereka tanpa baku tembak.

(byu/fal)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: