Kemajemukan Masyarakat Versus Wajah hukum?
Oleh : Elita Rahmi
Ke-khas-an (typical) Indonesia, adalah kemajemukan suku, bangsa, agama, adat-istiadat yang dibelah oleh geografis darat, laut, bukit dan gunung yang pada akhirnya melahirkan karakter intelektual dan karakter fisikologis yang berbeda setiap suku bangsa, agama dan adat istiadat. Kemajemukan ini tentu hanya bisa aman dengan model hukum yang majemuk pula , anehnya kita justru mengembangkan unifikasi hukum atau hukum yang serta satu untuk semua. Tanpa diiringi pengembangan hukum-hukum majemuk diantanya hukum adat plus hukum-hukum yang hidup dalam mayarakat . Paradokah ini?
Bangsa penjajah (Belanda) justru mengakui keberagaman Indonesia, sehingga penjajah mengakomodir kemajemukan Indonesia melalui dualisme hukum yakni hukum buat penjajah (BW) dan hukum buat bumi putera (Hukum Adat). Dalam perkembangan hukum di Indonesia hukum adat sedikit demi sedikit dibinasakan melalui jalur-jalur strategis, seperti perundang-undangan, putusan hakim dan berbagai kebijakan pemerintah. Seperti. UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang desa yang berkeinginan menyamakan konsep desa pada seluruh elemen pemerintahan otonomi terendah di Indonesia. Akibatnya desa lumpuh ,“sekarat” atau sudah mati. Tuntutan meng-PNS khan Kades adalah bukti nyata matinya nyali membangun rumah tangga desa melalui keberagaman. Pengakuan hukum adat dalam UUD 1945 hanya serimonial belaka.
Desa yang kokoh dan hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, harus kembali kita kobarkan dalam kemajemukan Indonesia. Negara khas Indonesia dengan ciri yang melekat adalah kemajemukan harus membesarkan hukum-hukum yang bercirikan ke indonesiaan, tokoh-tokoh desa dan ninik mamak harus difungsikan kembali perannya sebagai penyelesai sengketa yang berskala lokal (lembaga adat, polisi, Jaksa, Hakim) berkolaborasi untuk memberi ruang-ruang pada penyelesaian hukum yang praktis dan menjawab keadilan.
Menurut Bagir manan putusan yang bertanggungjawab adalah putusan yang baik, putusan yang bertanggungjawab adalah putusan yang mempunyai tumpuan konsep-konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat. Orang boleh mengatakan puas atau tidak puas terhadap putusan. Begitu pula orang boleh menilai putusan mampu menyelesaikan masalah, namun tidak ada yang dapat menyalahkan karena putusan dibuat atas dasar konsep, dasar hukum dan perimbangan yang kuat.
Bahkan, Teori Restorative Justice sebagai model penyelesaian pidana diluar proses peradilan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum yang terjadi pada masyarakat indonesia. Dalam perkembangan hukum di Indonesia, Restorative Justice juga tidak banyak dalam memperkaya wajah hukum di Indonesia
Desa adalah satu-satunya perangkat otonomi yang memiliki rakyat yang paling riil, dan pemerintahan yang paling terdepan. Melek hukum atau desa sadar hukum, menjadi sebuah model yang unik, karena setiap desa akan menemukan hukumnya sendiri. Hukum adat tersebut harus terus menerus dibina dan dipelihara bersama oleh masyarakat adat dan negara sebagai persekutuan hukum yang ideal, dipraktikan oleh hakim dan dibangun hukum-hukum positif yang bernuansa ke kemajemukan masyarakat indonesiaan (hukum progresif).
Lahirnya peraturan perundang-undangan melalui tekanan-tekanan global (IMF) membangun peradaban paradoktisme yang menjauhkan diri dari rasa keadilan masyarakat. Konflik dan sengketa yang terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas adalah hasil nyata dari produk hukum yang selalu menjauhkan diri dari hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhineka Tunggal Ika sebagai empat pilar bernegara, paradok dengan hukum-hukum positif yang tumbuh dan berkembang, sebagai bukti perundang-undangan sebagai hukum positif, tidak dipatuhi masyarakat sebagai perwujudan hak dan kewajiban, otomatis hukum tersebut tidak berwibawa.
Undang-undang atau peraturan di bawahnya baru di buat, dalam waktu singkat di gugat di Mahkamah Agung atau di Mahkamah Konstitusi karena subtansi isinya berjauhan dengan aspek yuridis, aspek sosiologis plus aspek filosofis. Hukum di buat hanya untuk kepentingan kelompok tertentu akan tidak bermakna hanya akan melahirkan sesat pikir tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum Indonesia.
( Elita Rahmi, Dosen Fakultas Hukum. Ketua Program Notariat Pascasarjana Universitas Jambi. Pelanta)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: