Sesudah Banjir, Lalu ?

Sesudah Banjir, Lalu ?

Oleh Agus SN

Peristiwa banjir yang melanda hampir seluruh wilayah di Indoensia termasuk di Propinsi Jambi saat ini sudah mulai surut walaupun dibeberapa daerah masih tergenang banjir, namun banjir baru batas mereda belum teratasi hingga hari ini, mengapa mereda, disebabkan belakangan intensitas dan frekuensi musim hujan  menurun, tidak seintensif beberapa minggu sebelumnya, ini dapat dirasakan indikasinya dalam satu hari belakangan ini tidak terjadi hujan dan dibeberapa daerah kabupaten dan Kota Jambi hasil laporan dimedia massa banjir mulai surut dan nyaris tidak ada tempat kebanjiran lagi.

Nampaknya peristiwa bencana alam seperti banjir oleh kita (penguasa), dianggap seperti angin lalu karena banjir dianggap tamu yang pasti akan datang bisa setahun sekali atau berkali-kali terserah maunya banjir kapan datang kira-kira seperti itu. Sebuah kebenaran atau kebetulan kalau peristiwa banjir dapat diantipasi bahkan dapat diprediksi kedatangannya tapi apakah kita sebagai warga negara yang memiliki hak untuk hidup tenang tanpa was-was, harus selalu siap-siap sebagai langganan korban banjir? ini salah satu pertanyaan besar dari sekian banyak seputar dampak banjir yang mesti dijawab oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Musim penghujan diabad ini tidak hanya dipandang sekedar permasalahan perubahan musim biasa, kini setiap memasuki perubahan musim selalu diikuti oleh dampak setelahnya, entah itu banjir atau kekeringan, lebih ekstrem lagi cuaca berubah tidak sesuai jadwalnya yang dikenal dengan anomali cuaca. Maka menyoroti banjir dinegara ini sudah merupakan permasalahan multikompleks, karena penanganannya terkait siapa yang memegang pucuk kepemimpinan disana dan kebijakannya, lantas mengapa banjir selalu terjadi setiap tahunnya. Untuk itu butuh koordinasi yang lintas sektoral terutama ditingkat birokrat pusat sampai daerah, saling berhubungan dan bertanggungjawab terhadap penanganan bencana alam termasuk banjir.

Menurut laporan dari Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan, kerugian yang ditimbulkan akibat banjir awal tahun 2014 ini diperkirakan Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun per hari. Sedangkan laporan Kemenko Bidang Perekonomian RI, dalam laman online nya, menyatakan bahwa cuaca buruk yang terjadi pada bulan Januari dipastikan akan membuat laju inflasi melonjak tinggi. Namun Pemerintah berharap lonjakannya tidak sampai setinggi pada Januari 2013 yang mencapai 1,03 persen.

Alih-alih menyalahkan alam, sejatinya kemudian memunculkan kritik bahwa biang keladinya justru adalah kebijakan dan perilaku ekonomi, kebijakan tata ruang, dan banyak kebijakan lainnya yang anti lingkungan hidup seperti penebangan hutan, perubahan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ditengarai juga terjadi di Propinsi Jambi.

Sifat kerakusan ekonomi telah menyebabkan kerusakan lingkungan karena pembangunan ekonomi beorientasi pasar dan konsumeristik dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah etika lingkungan dan kepentingan sosial, yang luas. Juga persaingan pasar berorientasi pada kepentingan bagi pemilik modal. Jika tidak ada etika dan moral yang memandunya, maka kepentingan lingkungan hidup dinafikan atau paling maksimal disubordinasikan di bawah otoritas pasar. Karena itu, wajar jika banyak kebijakan memberikan ruang dengan menabrak jalur hijau, mengubah serapan air menjadi bangunan, menghilangkan waduk kecil dan jelas merupakan kebijakan yang lainnya yang anti lingkungan hidup.

Dari aspek komunikasi kebijakan, maka muncul sebuah citra (image) bahwa para pemimpin dinegeri selama ini masih berbicara pada tataran kerugian secara material, namun masih sedikit yang berbicara tentang kerugian immaterial dampak psikologis dan sosial. Pemimpin bangsa kurang memiliki sikap empathy seandainnya mereka menjadi langganan korban pasti akan merasakan apa yang dirasakan korban apalagi dikalangan marginal. Ongkos bangkit (recovery) secara mental membangun masa depan dan semangat untuk hidup justru lebih mahal daripada kerugian material.

Mengamati dari kenyataan dilapangan terdapat dua fenomena yang menarik muncul terkait bencana banjir ini, pertama; masyarakat yang sudah terbiasa menjadi korban dalam arti kata langganan bencana, kedua; masyarakat yang baru merasakan bencana akibat kesalahan tata kelola lingkungan,  harus diakui diakui bahwa kekeliruan tersebut disebabkan karena faktor manusia dan terutama mengenai kebijakan. Apabila seperti ini berarti terkait dengan sistem kekuasaan yang menjalankan sehingga menyebabkan sebuah bencana terjadi, apakah kekuasaan dan kebijakan yang dijalankan pro terhadap bencana atau tidak. Jika pro bencana artinya ada perhatian serius serta mengedepankan aspek antisipasi dan perbaikan agar tidak terulang lagi melalui aturan dan punishment yang ketat. Sebaliknya kebijakan yang jika tidak pro bencana artinya terjadinya pembiaran tehadap suatu bencana, ketika bancana terjadi hanya mengandalkan bantuan serta penanganan yang reaktif dan parsial. Maka jika seperti ini siap-siaplah rakyat yang menjadi korban

Dari setiap kejadian bencana alam yang terjadi dinegeri ini, permasalahan terbesar adalah mengatur (manage) bencana, maknanya meminimalisir kerugian harta serta hilangnya nyawa. Oleh karena itu, hal urgent dan sering kali dilupakan pasca bencana (banjir), yang kelihatannya sengaja dilewatkan atau memang bukan masuk dalam kebijakan atau program utama penguasa untuk menegakkan peraturan dan memperbaiki area yang menjadi langganan bencana agar tidak terulang dikemudian hari. Sekali lagi ini butuh political will penguasa untuk tidak melakukan kebijakan bersifat tranksaksional (kongkalingkong) dengan pengusaha.

Fakta menunjukkan pemerintah kurang bersikap tegas terhadap oknum yang memberikan izin pembangunan. Serta kawasan komersial bisnis yang dibangun di daerah hutan lindung dan kawasan resapan air yang jelas melanggar tata ruang inilah yang disebut proyek kongkalikong antara pengembang dan pejabat instansi yang berhak mengeluarkan izin.

Ditahun mendekati perhelatan pemilu 2014 yang semakin memanas, nampaknya sudah jamak dimanapun tempatnya dinegeri ini, setelah bencana berlalu maka berlalu pula perhatian penguasa terhadap lokasi kejadian, bahkan bencana menjadi area politisasi menjual diri kepada konstituen yang sedang menderita dengan berbagai macam cara. Sebagai warga bangsa yang mendambakan kehidupan normal bebas dari bencana termasuk banjir, melalui peristiwa besar kemarin besar harapannya, ada jawaban dari penguasa berupa program yang nyata dan jelas akan penanganan bencana tidak menjadikan politik (pemilu) sekedar hanya fokus untuk meraih kemenangan dan kekuasaan, dengan melupakan nestapa yang silam sambil bersiap-siap lagi menghadapi bencana yang akan datang,  mungkin bisa jadi bencana lebih dahsyat akan siap menimpa, karena tanpa ada perencanaan dan perbaikan terhadap kebijakan yang keliru dan salah.

Jika adanya kesamaan pandangan bahwa mengelola dan memelihara barang publik merupakan kebijakan yang harus mendapatkan prioritas tinggi adalah suatu keputusan tepat, maka setelah banjir jawabannya adalah perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur bagian dari proyek berkesinambungan bukan setelah banjir lalu apa ya lewat saja. Wassalam

(Praktisi Komunikasi dan Media Dosen STISIP Nurdin Hamzah Jambi )

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: