Golput dan Kekuatan Uang, Lelang Suara Pemilu

Golput dan Kekuatan Uang, Lelang Suara Pemilu

Oleh : Syamsul Bahri, SE

PADA Pemilu Legeslatif 9 April 2014, melalui fase dan tahapan yang telah dilakukan, jika kita cermati kondisi Pelaksanaan Pemilu Legeslatif yang akan berlangsung, kecenderungan banyak pasangan baik incumbent yang mendominasi para Caleg baik Kota/Kabpataten, propinsi maupun Pusat, dalam frame fakta kecenderungan Caleg terlalu dinina bobok dengan sebuah fakta dalam dukungan semu, hal ini sudah banyak terbukti, bahwa data dari peta politik hasil pemantauan oleh tim ”seakan-akan berpihak” pada Caleg tersebut tersebut, ya tentunya pada hari H fakta itu akan terbukti, sehingga kajian dan analisa Ilmiah belum bisa memprediksi kondisi ini, karena ada sebuah kekuatan ”invisible hand” yang bermain justru menjelang hari (H), hal ini lebih disebabkan paling tidak ada 2 hal yaitu GOLPUT dan Kekuatan Uang.

Dari berbagai sumber dalam pelaksanaan Pemilu baik Legeslatif, Presiden, maupun Pilkada, munculnya golongan putih (Golput) dalam setiap event demokrasi tidak mungkin untuk dihindari, dan memang itu sebuah pilihan. Golput itu muncul lebih dilatar belakang menurut beberapa pengamat adalah instrumen Demokrasi yang terimplementasi dalam pemilu yakni antara lain (1). Figur kandidat yang ditetapkan dengan parameter profesional, moral, dan nilai jual di tengah masyarakat, ternyata kandidat yang muncul dinilai masyarakat tidak aspiratif dan tidak kapabel; (2) unsur nepotisme dari pihak parpol tertentu yang membuat masyarakat jenuh; (3) faktor yang juga paling dominan yang menjadi penyebab golput adalah sikap nepotisme pihak-pihak tertentu dalam menetapkan Kandidat, sedangkan dalam kondisi riil bertentangan dengan keinginan masyarakat secara umum hal itu akan memengaruhi orang untuk tidak memilih alias memilih untuk golput.”

Walaupun pilihan tersebut tidak mendukung upaya demokrasi, munculnya golput bukan hanya disebabkan oleh sebuah pilihan, melainkan disebabkan belum sempurnanya pelayanan KPUD dalam memberikan informasi dan pelayanan untuk warga negara yang akan menyalurkan hak politiknya, antara lain lokasi dan tempat tinggal pemilih yang sangat sulit di jangka, persoalan DPT yang masih belum selesai dimaknai sebagai keteledoran administrasi.

Pada hal keselahan ini menyebabkan hak politik seseorang hilang,  hak konstitusi yang tersalurkan menjadi bobot nilai tingkat keberhasilan pesta demokrasidalam setiap pemilu demokratis, secara umum, gulput itu muncul disebabkan olehSistim Managemen Pelayanan dan informasi Publik yang meliputi hak dan tanggung jawab pemilih yang belum dilakukan oleh KPUD secara optimal, sampai pada calon pemilih.

Sangat disadari bahwa dalam percaturan Politik, posisi dan kekuatan uang teramat penting, seperti sebuah kendaraan pelumas mesin, uang adalah energi untuk menggerakkan partai,tanpa uang, partai politik tidak akan berbuat banyak.

Memang difahami demokrasi itu tidak dinilai dari besarnya ongkos demokrasi, namun dinilai dari tingkat partisipasi aktif dan positif dalam demokrasi tersebut menjadi hal yang sangat menentukan dalam demokrasi, dan berdemokrasi juga tidak harus menelan ongkos yang mahal, namun antara peserta demokrasi yang memiliki modal dan kekuatan Uang yang kuat dengan yang lemah bisa bersanding dan berkompetisi secara wajar dan berazaskan kelayakan demokrasi berjalan seiring dan sejalan dalam tatanan hormonisasi demokrasi, dan ini mengindikasikan sebuah demokrasi yang sehat.

Namun jika dalam sistem demokrasi tersebut memberi peluang kepada transasksi suara, ini akan dimanfaatkan  untuk mendapatkn kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli.

Fakta tersebut baik beli suara, beli kursi serta beli pengaruh dalam demokrasi menjadikan uang bukan lagi sebagai pengerak partai, bahkan telah berubah menjadi momok bagi partai lain atau Caleg, bahkan para caleg sudah ber”kalkulasi” untuk mendapat suara melalui transaksi suara, semetara  di tingkat lapangan, kondisi tersebut memang cukup nyaman untuk dilakukan transaksi politik dalam bentuk Lelang Suara Rakyat.

Hali itu lebih disebabkan oleh tingkat pemahaman dan pendudikan politik yang masih lemah, tingkat pendidkan yang relatif masih rendah, kemiskinan dan tingkat pendapatan yang lebih cendurung memperkuat terjadi transaksi bahkan lelang suara di tingkat akar rumput.

Penggabungan antara aktor politik secara ekonomi cukup kuat, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman politik yang rendah serta kebutuhan ekonomi pemilih menjadikan katalisator berkembangnya lelang suara (tersembunyi) di tingkat lapangan sangat sulit untuk dihindari.

Lelang suara, mungkin akan menjad trendy dalam demokrasi saat ini, karena ada kecenderungan masyarakat sangat pasif dalam demokrasi, dan mereka akan berartisipasi dalam demokrasi, siapa yang bisa membayar suara mereka dengan angka tertinggi, walaupun pada awalnya negosiasi dari nilai terendah sampai tertinggi mereka terima, namun yang akan menjadi pilihan mereka cenderung pada nilai tertinggi, bahkan tidk menutup kemungkinan sang golput akan larut dalam proses lelang suara ini.

Kondisi ini sesungghunya sudah terbaca, hal dapat terlihat dari komposisi Kandidat yang muncul saat ini muncul sebagai tokoh yang ditokohkan kecenderungan dalam proses waktu yang relative singkat, karena popularitas, karena kekuatan Uang, yang tentunya proses “karbitnasasi” ini akan memunculkan tokoh yang secara mutu dan pemahaman demokrasi dan tanggung jawab masih dipertanyakan akan membuahkan hasil jika mereka duduk di Parlemen juga masih dipertanyakan.

Kenyataan tersebut tokoh yang menokohkan diri melalui proses relative singkat dan kekuatan popularitas terutama kekuatan Uang memang tidak dilarang bahkan diakomodir memalui sistim yang dibentuk melalui UU Demokrasi, tentunya secara faktual belum memberikan peluang yang kondusif untuk tokoh-tokoh yang memiliki idealisme dan berfihak kepada masyarakat, dan kita sangat yakin tokoh yang memiliki idealisme pada umumnya belum begitu mapan dalam ekonomi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: