Demokrasi Uang
Oleh : Wenny Ira R, M.Hum
MENARIK sekali ketika menjelang dua bulan lagi pelaksanaan hajatan pesta demokrasi pemilihan umum 9 April 2014 digelar, kegaduhan politik di Indonesia ditambah dengan gaduhnya masalah dana saksi. Rencananya pemerintah akan menggelontorkan uang sebesar tak kurang dari Rp.700 milyar diambil dari APBN untuk membiayai para saksi dari 15 partai politik yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Jumlah yang fantastis, dan sebuah isu kebijakan yang sangat mencengangkan bagi penulis.
Memang, ditataran fakta lapangan, sejak awal bermula pemilihan umum pasca reformasi digelar sebebas-bebasnya, sedemokratisnya, keluhan dari partai politik apalagi calon legislatifnya adalah mengenai biaya untuk membayar para saksi. Keberadaan saksi bagi partai politik dan calon legislatifnya, menjadi sebuah dilema. Disatu sisi saksi amat diperlukan untuk mengawal perolehan suara partai politik dan calon legislatifnya, disisi lain biaya untuk membayar para saksi menjadi masalah yang lebih penting lagi jika tidak ingin dipecundangi oleh saingan politiknya.
Di lapangan ketika pemilihan umum berjalan, keberadaan saksi berbayar dengan berbagai tarif menentukan sekali bagi benteng perolehan suara yang terkumpul. Tidak bisa membayar saksi, atau tidak bisa membayarnya lebih tinggi dari saingan politiknya berarti benteng perolehan suara sebuah partai politik dan calon legislatifnya lemah dan harus berhadapan dengan kondisi yang penuh manipulasi lewat keberadaan saksi. Maka, selain kampanye, partai politik apalagi calon legislatif ketersediaan finansialnya terkuras sampai titik darah penghabisan untuk membiayai saksi di tiap TPS. Tak jarang untuk biaya saksi terkadang lebih jor-joran daripada biaya kampanye, dan itupun masih harus menanggung resiko saksi yang membelot.
Permasalahan biaya bagi saksi yang akan mengawal perolehan suara di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam pemilihan umum di Indonesia, setidaknya menampilkan wajah sesungguhnya demokrasi yang dibilang berbiaya tinggi itu. Partai politik telah menyiapkan sebagian kemampuan finansialnya untuk membiayai saksi, tetapi tidak akan cukup bila tidak ditopang dari iuran dengan para calon legislatifnya, atau dengan sponsorship politiknya. Tetapi biasanya, para sponsorship ini agak sedikit keberatan mengenai uang yang harus disumbangkan untuk membiayai saksi, karena mereka biasanya lebih memilih dengan mudah untuk mendukung biaya kampanye, atau untuk biaya sarana-prasarana.
Tidak heran jika kemudian ketika wacana pengucuran anggaran pemerintah pusat yang fantastis itu bagi pembiayaan para saksi, disambut antusias oleh beberapa partai politik, terutama partai politik yang tengah mengalami kembang-kempis keuangan. Wacana ini juga bermula dari usulan partai politik di komisi II DPR kepada pemerintah melalui menteri keuangan dan menteri dalam negeri. Namun disamping sebagian partai politik antusias menyambut keberadaan dana saksi ini, beberapa partai politik menolaknya, seperti PDI –Perjuangan, dan Nasional Demokrat.
Rencana dana saksi yang akan diserahkan tanggung jawab pengelolaannya kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ini pun diwarnai aksi saling tolak antara Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu. Alasan kedua badan ini memang cukup rasional, bahwa mereka belum siap dikenai tanggung jawab mengelola anggaran pemerintah yang terkesan siluman dan ilegal dari sisi perundangan keuangan negara ini. Memang, jika penulis lihat, ada nuansa politik dalam upaya mengucurkan dana saksi yang bersumber dari APBN ini. Secara penganggaran, dana saksi tidak mempunyai payung hukum atau sumber legalitas yang jelas, juga bagaimanakah logikanya sebuah penganggaran keuangan negara disahkan terlebih dahulu baru kemudian dicarikan payung hukumnya.
Pemerintah mengklaim bahwa wacana pengucuran dana saksi tersebut sebagai upaya menganulir praktek kecurangan, konflik, dan terkumpulnya sumber dana tidak jelas pada partai politik. Disediakannya dana saksi oleh pemerintah, dengan pertimbangan bahwa partai politik tinggal fokus menghadapi jalannya pemilihan umum di lapangan dan tidak dipusingkan dengan dana bagi saksi di tiap TPS, juga tidak ada lagi partai politik yang merasa terkucil karena minimnya alokasi dipartainya untuk membiayai saksi.
Jika dilihat sepintas, dari kegaduhan dana saksi ini, wajah demokrasi yang berbiaya tinggi itu, seolah hanya mengumpulkan masalah uang. Bagaimana uang dijalankan secara politik dalam sistem demokrasi dari titik awal memperoleh legitimasi hingga titik-titik menjalankan legitimasi yang telah diperoleh. Dalam garis persinggungannya kemudian, karena masalah legitimasi yang berhubungan dengan manusia sebagai subjek yang menjalankannya, tentunya banyak timbul permasalahan, apakah itu permasalahan sosial, kemanusiaan, ekonomi, budaya, politik dan lain-lainnya. Permasalahan-permasalahan itu dengan mudah disimpulkan, karena uang!. Maka dari itupun penyelesaiannya harus dengan uang!.
Kecurangan di TPS, membelotnya saksi yang tidak berbayar, atau saksi yang tidak dibayar lebih tinggi dari saksi lainnya, partai politik yang kedodoran dalam segi manajemen keuangan, seolah hanya dapat diselesaikan dengan satu hal, menyediakan anggaran yang menyedot APBN dan yang seharusnya akan lebih baik bila dianggarkan bagi prioritas lain ditengah bencana yang mengepung negeri ini, kemiskinan yang belum teratasi, kelaparan dan gizi buruk yang belum terpecahkan solusinya, pendidikan yang harus mendapat perhatian hingga kepelosok, sarana-prasarana rakyat yang memadai, dan lain-lain.
Dapatkah kita bersama-sama melihat mengenai saksi dan kedudukannya serta permasalahannya ini, misalnya, bahwa itu bukan masalah uang semata, tetapi bagaimana peran konstituen yang cerdas tidak hanya menyalurkan hak pilihnya semata, tetapi juga ikut mengawal jalannya pemilu dan suara yang diberikannya, tidak hanya dengan sesama konstituen tetapi juga bahu membahu dengan stakeholder lainnya yang berkepentingan menciptakan sistem politik yang baik (apakah itu lembaga maupun prosesnya), berkeadilan, bersih dan berwibawa demi tatanan negara yang baik, juga terutama dengan civil society yang berada ditengah membangunkan keberdayaan konstituen berhadapan dengan masalah politik.
Sayangnya, jika kemudian segala permasalahan terburu diselesaikan dengan uang di era demokrasi yang jargonnya memberadabkan ini, kita menjadi lupa bahwa manusia adalah subjek dalam sistem politik yang menciptakannya, menentukan, mengatur, dan mengendalikannya. Tetapi kita sudah terlanjur tersihir oleh wajah demokrasi berbiaya tinggi itu, uang adalah suatu permasalahan sekaligus juga cara menyelesaikannya.
(Wakil Ketua II, Dosen Tetap Program Studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, anggota Pelanta)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: