2014, Tiga Musim Melanda Indonesia
Oleh : Hendri. Y*
(Widyaiswara Departemen Pertanian RI)
Memasuki tahun 2014 Indonesia kembali dilanda musim panas, sesuai dengan prakiraan cuaca bahwa musim panas akan terjadi pada pertengahan bulan Januari. Kini, semua lini merasakan dampaknya, dimana suhu menjadi meningkat, kebakaran terjadi dimana-mana, kabut asap muncul, lahan pertanian menjadi kering dan parahnya lagi kejadian seperti ini terjadi secara rutin dihampir setiap tahun. meskipun dibagian timur Indonesia, banjir masih terjadi.
Akan tetapi ada satu hal yang menarik, ternyata musim panas ditahun 2014 ini tidak saja pada perubahan iklim menurut ilmu klimatologi, tapi ada dua musim panas lainnya yang tak kalah seru untuk menjadi bahan kajian dan diskusi. Musim panas yang lain adalah panasnya suhu politik jelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Dan musim panas ketiga adalah panasnya kejadian alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di Indonesia.
Karena kejadian ini terjadi pada tahun yang sama, maka akibatnya pasti sangat berpengaruh bagi kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Musim panas pertama,
Musim panas sebagaimana prakata diatas, adalah menurut versi ilmu klimatologi yaitu perubahan iklim.Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya).Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain.
Beberapa studi institusi, baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas.Perubahan temperatur rerata harian merupakan indikator paling umum perubahan iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan temperatur secara umum di Indonesia berada pada kisaran 2,0 C – 2,50 C pada tahun 2100 berdasarkan skenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan energi secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met Office, 2011). Data historis mengonfirmasi skenario tersebut, misalnya kenaikan temperatur linier berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan analisis data 25 tahun terakhir (KLH, 2012).Peningkatan temperatur rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi monsun Asia dan Australia.Dengan sirkulasi monsun, Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau).Perubahan temperatur rerata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrem.UK Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir parah sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua. (Agus Supangat).
Terjadinya perubahan iklim dan naiknya suhu rerata harian menyebabkan kondisi panas yang semakin meningkat. Dengan kondisi ini membuat kita mudah gerah, cepat berkeringat dan secara psikis akan menimbulkan kelabilan emosi sehingga membuat orang cepat marah dan tergesa-gesa.
Kenaikan suhu ini telah dirasakan hampir 10 tahun terkahir dan penyebab utamanya tidak lain adalah akibat kelalaian dan keserakahan manusia, Alquran telah mensinyalir itu 14 abad yang silam (QS. 30:41).Konteks ini seharusnya membuat kita sadar, bahwa sudah saatnya kembali menyeimbangkan alam dengan cara berdamai dengannya. Cara yang paling tepat untuk berdamai dengan alam adalah, melakukan rebosisasi hutan dan lahan, membuat lubang pori disetiap komplek rumah, perkantoran dan toko, melakukan penghijauan ditempat-tempat terbuka, seperti hutan kota, memperbaiki saluran air dan drainase serta meninggalkan penggunaan produk-produk kimia didunia pertanian dengan beralih pada produk ramah lingkungan.Kesadaran seperti ini dapat dibangun pada lingkungan rumah tangga, instansi pemerintah dan swasta serta dunia pendidikan sehingga menjadi sebuah gerakan yang massif.
Musim panas kedua
Musim panas kedua yang terjadi ditahun 2014 adalah musim pemilu, baik legislatif (9 April 2014) maupun pemilihan presiden (9 Juli 2014).Nuansanya tidak kalah panas jika dibandingkan dengan cuaca panas yang tengah terjadi. Pileg dan pilpres sebagai pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dimana waktu untuk persiapan lebih panjang buat partai politik maupun jalur perseorangan yang akan ikut dalam pemilu nanti.Selain itu, jumlah partai yang ikutpun lebih sedikit yakni hanya 15 partai, 12 level nasional dan tiga lainnya local Aceh.Semakin sedikitnya jumlah partai peserta pemilu tentunya menjadikan perebutan suara semakin ketat dan ditengah ketatnya persaingan ini sudah dipastikan suhunya juga semakin panas.Itulah kenapa penulis mengatakan panasnya suhu politik jelang pileg dan plipres lebih panas jika dibandingkan panasnya cuaca dan ilkim.
Diskala nasional pergesekan antar relit tidak bisa dipungkiri, perebutan simpati dengan selling dan branding dilakukan tokoh-tokoh partai baik melalui media cetak maupun elektronik. Sudah jadi rahasia umum, beberapa media cetak dan elektronik merupakan perusahaan milik beberapa petinggi partai, jadi sudah wajar jika pemberitaan akan lebih subjektif menaikan pamor partai sang pemilik. Tidak sampai disitu saja, gesekan juga sangat terasa dengan maraknya kasus-kasus yang melanda elit-elit partai, saling jegal dan saling intip menjadi trend serta saling angkat kasus sangat kentara, terakhir dengan dicuatkannya kasus keluarga Atut dan pencekalan mantan menteri kehutanan M.S Kaban keranah hukum menjadi branding politik yang sangat menarik untuk diikuti.
Dijambi sendiri pertarungan tidak kalah menariknya, gerakan para kompetitor sudah terlihat kasat mata, dimulai dari maraknya iklan yang dipasang, kegiatan partai dan caleg yang dibungkus dengan bermacam cara, hiruk-pikuk masyarakat yang mendapatkan bantuan dan sebagainya. Konstalasi ini diprediksi semakin memanas, apalagi para caleg sebagiannya mempunyai kekerabatan yang sangat dekat dengan para pejabat pemerintah, apakah gubernur, bupati atau walikota.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: