>

Ekonomi Indonesia Rentan Bergejolak

Ekonomi Indonesia Rentan Bergejolak

JAKARTA - Kinerja ekonomi Indonesia sejatinya cukup bagus. Dengan pertumbuhan 5,78 persen, tahun lalu Indonesia adalah runner up negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ke dua, atau hanya kalah dari Tiongkok, diantara negara raksasa ekonomi G20. Namun, tetap saja ekonomi Indonesia rentan gejolak.

Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, saat ini masuk kategori lima negara dengan ekonomi paling rentan di dunia. “Selain Indonesia, ada Brazil, Afrika Selatan, Turki, dan India,” ujarnya dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR kemarin (19/2).

Ketergantungan Indonesia pada sumber daya alam, terutama dipicu booming batubara pada dekade 2000an, membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak ekonomi global. Sebab, jika harga komoditas tambang di pasar internasional jatuh, maka kinerja sektor pertambangan pun akan terseok-seok dan laju ekonomi pun ikut seret.

Selain itu, tingginya impor bahan baku, barang modal, maupun barang konsumsi akibat tidak adanya industri intermediate penyambung hulu dan hilir memicu defisit neraca berjalan (current account deficit).

Karena itu, kata Chatib, Indonesia harus tetap waspada terhadap risiko gejolak ekonomi global. Bahkan, perbaikan ketika ekonomi global yang dimotori Amerika Serikat (AS) membaik pun, Indonesia harus waspada karena bisa memicu aliran modal keluar (capital outflow). “Kehati-hatian inilah yang menjadi policy pemerintah saat ini,” katanya. \"

Meski demikian, lanjut dia, langkah pemerintah dan BI yang menaikkan BI Rate untuk meredam defisit neraca berjalan sudah berjalan cukup efektif. Karena itu, perlambatan laju ekonomi saat ini bakal membuat ekonomi Indonesia lebih sehat di masa mendatang. “Jadi, 2014 ini posisi Indonesia lebih baik dari empat negara lain (yang masuk kategori ekonomi rentan),” jelasnya.

Sementara itu, sepanjang 1,5 bulan pertama tahun ini, pemerintah terus mematangkan review atas APBN 2014. Chatib menyebut, dari beberapa asumsi makro, memang ada yang mengalami penyimpangan atau deviasi cukup lebar. “Terutama nilai tukar rupiah,” ujarnya.Data Kementerian Keuangan menunjukkan, realisasi nilai tukar rupiah saat ini ada di kisaran Rp 11.700 - 12.200 per USD, jauh di bawah asumsi Rp 10.500 per USD dalam APBN 2014.

Asumsi lain yang menyimpang cukup jauh adalah lifting atau produksi siap jual minyak yang realisasinya hanya 804 ribu barel per hari, jauh di bawah target 870 ribu barel per hari. “Adapun pertumbuhan ekonomi kita proyeksi di kisaran 5,8 - 6 persen dan inflasi 5,4 - 5,7 persen, masih cukup sesuai dengan angka APBN 2014,” sebutnya.

Karena itu, pemerintah akan melakukan pembahasan internal untuk menajamkan analisa dan proyeksi mengenai asumsi-asumsi apa saja yang perlu direvisi. “Jika dirasa perlu, tentu pemerintah akan mengajukan revisinya dalam APBN Perubahan 2014 ke DPR,” ucapnya.

(Owi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: