Asian Agri Tetap Setia Bayar Cicilan
JAKARTA - PT Asian Agri Group (PT AAG) menyatakan tetap komitmen membayar cicilan denda sebesar Rp 200 miliar di Kejaksaan Agung (Kejagung) tiap bulannya hingga Oktober 2014. Kendati bersedia membayar cicilan denda, perusahaan berlogo pohon kelapa sawit tersebut enggan mengakui tuduhan pelanggaran pajak senilai Rp 1,25 triliun di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
General Manager PT AAG Freddy Wijaya mengatakan bahwa kewajiban pembayaran pajak terhutang perusahaan tersebut selama empat tahun sebesar Rp 1,25 triliun di Ditjen Pajak sebagai sesuatu yang tidak rasional. Menurutnya, PT AAG terhitung dari 2002 hingga 2005 hanya memperoleh laba perusahaan sebesar Rp 1,24 triliun.
\"Sekarang kalau kita usaha untungnya dapat Rp 1,24 triliun lalu dibilang kekurangan pajaknya Rp 1,25 triliun. Masa pajak lebih besar daripada keuntungannya?\" kata Freedy di Wisma Nusantara, Jakarta Pusat (Jakpus) kemarin (19/2).
Freddy menjelaskan bahwa pihaknya telah menyampaikan keberatannya tersebut kepada Ditjen Pajak sekaligus mengajukan upaya banding di Pengadilan Pajak. \"Keberatan kami sudah pernah ditolak. Dengan ditolaknya keberatan itu, kita sedang proses ajukan banding di Pengadilan Pajak. Sebenarnya proses banding ini adalah proses antara kami dengan Ditjen Pajak supaya angka yang disampaikan bisa saling di-cross check,\" terangnya.
Sementara itu, dari sisi pidananya, perusahaan besutan pengusaha Sukanto Tanoto tersebut juga diwajibkan melunasi denda sebesar Rp 2,5 triliun kepada Kejagung hingga tanggal jatuh tempo pada 1 Februari 2014 lalu. Kewajiban pembayaran denda tersebut berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) Nomor 2239K/PID.SUS/2012 tertanggal 18 Desember 2012 yang menghukum mantan Manajer Pajak PT AAG Suwir Laut .
Namun, hingga tanggal jatuh tempo pelunasan tersebut, PT AAG baru dapat membayar denda sebesar Rp 700 miliar.
Menanggapi hal tersebut, pihak Kejagung lantas mengeluarkan kebijakan yang memberikan kesempatan kedua kepada PT AAG untuk melunasi sisa denda hingga Oktober 2014 dengan cara mencicil Rp 200 miliar tiap bulannya. Untuk menjamin pencicilan tersebut, PT AAG lalu menyerahkan bilyet giro perusahaannya kepada Kejagung untuk kemudian dicairkan sendiri oleh Kejagung sebesar Rp 200 miliar tiap bulannya.
Peneliti dari Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA) Faisal Basri mengatakan bahwa skandal perpajakan di dalam kasus PT AAG tidak hanya dapat diselesaikan di meja hijau. Menurutnya, penyelesaian secara administratif di Ditjen Pajak merupakan solusi terbaik bagi kasus tindak pidana perpajakan tersebut.
Faisal menjelaskan bahwa Ditjen Pajak dapat menghitung kembali kewajiban pajak yang harus dibayar oleh PT AAG dan berapa kekurangannya. \"Penyelesaian dengan cara lebih sederhana tanpa merugikan penerimaan pajak bagi negara,\" ujar Faisal.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) tersebut juga menuturkan, kemelut pajak di PT AAG merupakan praktik transfer pricing atau kesalahan pelaporan pajak yang penyelesaiannya dapat dilakukan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh Ditjen Pajak.
\"Transfer pricing merupakan tindakan penghindaran pajak (tax avoidance), bukan penggelapan pajak (tax evasion). Penyelesaiannya dilakukan melalui penetapan pajak,\" kata dia.
(dod)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: