Indonesia Kena Denda Rp 378 M
JAKARTA - Pemerintah berutang untuk pembangunan yang produktif sebenarnya tidak masalah. Yang jadi masalah adalah jika utang sudah disetujui, namun tidak terserap karena proyek molor. Akibatnya, selain tidak meningkatkan produktifitas, Indonesia juga harus membayar denda atas utang nganggur tersebut.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, per akhir 2013 lalu, total commitment fee yang harus dibayar pemerintah akibat utang luar negeri yang tidak terserap mencapai Rp 378,02 miliar. “Ini pemborosan uang negara,” ujarnya kemarin (25/1).
Menurut Harry, adanya utang pemerintah yang tidak terserap karena proyek yang molor atau mandek membuktikan tidak berfungsinya perencanaan pemerintah yang dijalankan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Seharusnya, Bappenas mampu menyusun berbagai strategi perencanaan yang berlapis. Jika plan A tidak berjalan akibat krisis global, maka plan B atau plan C yang harus dijalankan. Tapi realitanya, hal itu tidak diantisipasi sehingga utang-utang tidak terserap,” katanya.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan menyebut, total utang pemerintah pada tahun 2013 mencapai Rp 2.371,39 triliun, yang berasal dari pinjaman sebesar Rp 710 triliun atau 30 persen dari total realisasi utang, dan penjualan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 1.661 triliun (70 persen).
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas Dedy S. Priatna mengakui, banyak proyek infrastruktur yang molor atau bahkan macet saat memasuki tahap eksekusi. “Akibatnya, anggaran tidak terserap,” ucapnya.
Menurut Dedy, selain proyek di Kementerian/Lembaga, proyek infrastruktur besar yang masuk skema kerjasama pemerintah dan swasta atau public private partnership (PPP) juga banyak yang macet. Dari puluhan proyek PPP yang masuk rencana pemerintah pada 2013, hanya satu yang selesai, yakni jalan tol atas laut di Bali senilai Rp 2 triliun. “Itu pun sebenarnya proyek lama,” ujarnya.
Dedy mengatakan, molornya eksekusi proyek PPP disebabkan belum adanya lembaga atau institusi yang benar-benar bisa menjadi koordinator. Selain itu, banyak juga penyelenggara proyek, terutama pemerintah daerah yang tidak konsisten. “Awalnya bersedia dengan skema PPP, tapi lantas diambil alih sepihak dan kembali menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” katanya.
Setali tiga uang, penyerapan anggaran di Kementerian/Lembaga (K/L) juga belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Tahun lalu, dari pagu anggaran Rp 634,6 triliun, realisasi penyerapan anggaran hanya mencapai Rp 571,6 triliun atau 90,1 persen. Artinya, ada dana Rp 63 triliun yang tidak terserap.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, rendahnya daya serap anggaran K/L disebabkan berbagai faktor. Misalnya, lambatnya proses administrasi di K/L mulai dari pelelangan, penetapan pejabat perbendaharaan, hingga tidak siapnya tim eksekusi di lapangan. “Kendala teknis yang biasa dihadapi di lapangan adalah rumitnya perizinan, pembebasan lahan, dan masalah sosial,” ujarnya.
Adapun yang terkait dengan proyek yang dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri (PHLN), Askolani menyebut jika beberapa penyebab sering molornya proyek adalah belum adanya registrasi dalam pengurusan pinjaman/hibah maupun kurangnya kelengkapan data pendukung. “Akibatnya, dana tidak bisa dicairkan,” jelasnya.
Bagi Harry Azhar Aziz, DPR tidak bisa menerima berbagai penjelasan maupun alasan dari pemerintah terkait tidak optimalnya penyerapan anggaran, apalagi yang terkait dengan pinjaman yang menyertakan commitment fee atau denda yang harus dibayar jika proyek molor. “Sebab, setiap tahun alasannya seperti itu terus dan nyatanya tidak ada perbaikan signifikan,” ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, dirinya melalui Komisi XI DPR akan mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat aturan tegas dengan memberikan sanksi bagi Kementerian/Lembaga maupun sektor-sektor yang sudah mengajukan pinjaman atau utang luar negeri, namun tidak mampu menyerapnya karena proyek molor atau mandek. “Bila perlu, presiden memberi sanksi paling berat pada Menteri PPN/Bappenas sebagai perencana utang dan juga menteri terkait pengguna utang lainnya,” katanya.
(owi/kim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: