Pungutan OJK Memberatkan
JAKARTA - Tidak ada yang luput dari pungutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Semua institusi di industri pasar modal dan keuangan (bank dan nonbank) wajib membayar iuran kepada OJK. Peraturan Pemerintah (PP) RI No 11/2014 tentang Pungutan OJK telah tuntas dan berlaku bertahap mulai 1 Maret 2014. Dengan ini, OJK diharapkan tidak menyusu lagi kepada negara alias bebas dana APBN ditargetkan pada 2016.
Selain meminta iuran kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama lembaga Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal, emiten, dan semua lembaga di industri keuangan, pungutan juga diberlakukan kepada individual. Dalam aturan tertuang ada biaya perizinan dan pendataran orang perseorangan.
Di antaranya perizinan untuk Wakil Manajer Investasi (WMI) dan Penasihat Investasi (PI) masing-masing Rp 1 juta. Wakil Penjamin Emisi Efek (WPEE) Rp 500 ribu, Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE) dan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana (WAPRD) Rp 500 ribu per orang.
Adapun profesi penunjang perbankan serta profesi penunjang industri keuangan non-bank (IKNB) seluruhnya dikenakan biaya pendaftaran Rp 5 juta per orang. Selain biaya pendaftaran, OJK juga memberlakukan pungutan biaya rutin tahunan untuk individu yang berprofesi di industri tersebut sebesar Rp 5 juta per orang per tahun.
Pengamat pasar modal Yanuar Rizki mengkritisi kebijakan OJK yang melakukan pungutan langsung ke pelaku atau profesi. \"OJK sama saja mendegradasi dirinya sendiri. Kalaupun ada iuran, itu tugasnya asosiasi profesi masing-masing. Kalau mau dipungut, kenapa tidak ke asosiasinya?\" katanya kepada Jawa Pos kemarin.
OJK sebagai lembaga negara, kata Yanuar, sudah semestinya menjaga wibawa dalam kapasitasnya itu. Sebab, dengan memberlakukan iuran wajib kepada semua pelaku di industri baik insitusi maupun perorangan, menjadi tidak berbeda kapasitasnya dengan SRO dan asosiasi profesi. \"Ini menurut saya ujung-ujungnya terkait independensi,\" yakinnya.
(gen/oki)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: