Problem Kebangsaan Kita

Problem Kebangsaan Kita

Oleh. Muhammad Yasir Arafat, SE

Pendahuluan

Indonesia yang kini telah melalui lebih kurang 68 tahun terlepas dari belenggu penjajahan, perlahan membangun kekuatan bangsanya.  Berbagai bidang dan sector telah di rancang dan diproyeksikan pencapaiannya guna menata kehidupan yang lebih baik untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Namun demikian   sebegitu baiknya cita-cita dan rencana yang telah di tuangkan the founding fathers dalam UUD 1945 belumlah memberi jaminan untuk semuanya dapat terwujud secara utuh, karena perjuangan untuk mewujudkannya mengalami berbagai macam kendala dan hambatan.

Rangkaian Problema Kebangsaan Kita Hari ini

Secara sederhana dan kasat mata penulis menguraikan beberapa problematika yang kita hadapi hari ini, di antaranya: Pertama, Mewabahnya Budaya Korupsi. Dalam kurun waktu 15 tahun setelah Indonesia  melalui fase reformasi, permasalahan korupsi tak kunjung hilang dari panggung kehidupan politik dan pemerintahan. Impian kelompok reformis sepertinya harus dikubur dalam-dalam karena keterlibatan para pejabat negara  sebagai pelaku korupsi ternyata semakin banyak jumlahnya, baik itu pejabat di daerah maupun pejabat pemerintah pusat. 

Dari beberapa catatan data dan informasi yang dihimpun sudah 72% terjerat tindak pidana korupsi dari total permasalahan hukum yang di hadapi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Terakhir Kementerian dalam Negeri merilis  sudah ada 309 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terjerat kasus hukum  terkait korupsi, baik yang berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana.

Dapat kita bayangkan betapa  banyaknya pemimpin di negeri ini dililit oleh persoalan desintegritas pribadi, sehingga sudah tidak patut lagi menjadi panutan  rakyat karena gagal dalam memberikan contoh kebaikan. Kalaulah para pemimpin banyak yang tidak bisa di jadikan tauladan lagi bagaimana dengan pengikutnya, tentu situasi akan menjadi  amat  pelik. Tragisnya lagi kita sudah tidak bisa lagi membedakan siapa koruptor dan siapa yang seharusnya memberantas koruptor.

Kedua, Potensi Disintegrasi Kebangsaan. Berbagai konflik  vertical dan horizontal  berkecenderungan  meningkat dan dalam skala yang lebih luas. Konflik wilayah perbatasan antar daerah, konflik etnis, perang warga antar kampung, bentrok aparat dengan warga masyarakat, bentrok antar aparat dan kelompok separatis yang semuanya membawa konsekuensi negatif terhadap stabilitas keamanan dan keutuhan negara. Semakin beragam ‘perbedaan’ maka  semakin menambah ragam konflik dan intensitas konflik yang terjadi di tengah masyarakat.

Ketiga,  Degradasi Moral. Prilaku masyarakat yang semakin menjauh dari norma agama dan nilai-nilai keluhuran budaya semakin meningkat. Perampokan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan dan kebrutalan serta kekerasan sosial lainya  menjadi suatu hal yang amat sangat mencemaskan kehidupan masyarakat. Kemauan dan keberanian pemerintah dalam menegakan nilai-nilai dan norma sosial yang bersumber dari kemuliaan ajaran agama dan budaya nyaris tak terlihat lagi dalam konsep perencanaan pembangunan.   

Keempat, Menguatnya Golongan Kapitalis. Golongan pemilik modal yang merupakan kelompok elit dalam komunitas masyarakat Indonesia saat ini semakin mendapatkan tempat yang lebih leluasa dalam berbagai dinamika kehidupan kebangsaan. Termasuk dalam konstalasi politik dan pemerintahan, dimana gelagat daya tarik material dan financial semakin menjadi penentu keberhasilan dalam mencapai target-target politik tertentu. Apalagi kecenderungan berpolitik saat ini, tidak lagi diikat dengan kesamaan ideologis  akan tetapi sudah bergeser dengan sikap pragmatis dan kepentingan individu dan kelompok. 

 

Pemilu 2014 dan Penyelesaian Persoalan Kebangsaan

Pemilu 2014 akan menghadapi tantangan  yang amat berat dalam upaya melahirkan legislative yang berkualitas, berintegritas dan berkomitmen untuk mensejahterakan rakyat.  Pesimisme  masyarakat akan terjadinya perubahan keadaan  yang lebih baik bukan tanpa alasan mengingat hampir  90%  anggota legislatif yang ada sekarang  di Senayan maju kembagi  mencalonkan diri menjadi  anggota DPR-RI. Padahal tak banyak yang telah diperbuat selama duduk menjadi wakil rakyat, dimana undang-undang yang di selesaikan saja sebagai produk kerja mereka sangat sedikit, belum lagi kualitas  isi dan muatannya yang  sering  di gugat ke Mahkamah Konstitusi. Kondisi ini diperparah lagi dengan sikap parpol yang dianggap tidak mendahulukan  nasib masyarakat, cenderung pragmatis dalam menyikapi issue dan masalah nasional serta berbagai kasus amoral yang melibatkan kader partai seperti narkoba, gratifikasi dan lain sebagainya.

Seyogyanya Pemilu adalah salah satu pintu untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang berkualitas ditandai dengan tingkat integritas  dan komitmen yang tinggi untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka adalah elit potensial yang akan menghasilkan rangkaian produk kebijakan yang pro kepentingan masyarakat itu sendiri. Di tangan pemilih lah idealnya salah satu kunci untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan kita ini. Maka pemilih memang harus dicerdaskan untuk bisa mencari tahu informasi bagaimana calon yang akan menjadi legislatornya. Pemilih juga sudah harus disadarkan dengan  bahayanya praktek money politic dan janji-janji palsu, karena jika ini diabaikan oleh masyarakat, maka berlakulah hukum politik ekonomi, there is no free lunch in the world  maka pemimpin akan berusaha dengan segala cara untuk mengembalikan  ‘modal berjuang’nya dengan cara memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, serta jauh dari sifat amanah. Jika ini yang terjadi, maka semakin ruwetlah persoalan kebangsaan kita ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: