KRISIS KEJIWAAN

KRISIS KEJIWAAN

H. Sjofjan Hasan, SH., MH

                Penulis tersentak ketika membaca salah satu topik berita Jambi Ekspres tanggal 9 Januari 2014 halaman pertama, yang menyatakan “ Rumah Sakit Jiwa Siap Tampung Caleg Gagal”.  Apakah sudah demikian gawat kondisi mental atau bathin masyarakat kita saat ini, dengan kata lain telah terjadi krisis kejiwaan sebahagian masyarakat kita. Memang kalau kita amati  penyakit bathin sedang merajalela dalam perilaku masyarakat saat ini. Kita hidup bersama, tapi tidak ada kebersamaan,  hilangnya rasa kasih sayang, saling salah menyalahkan, tuduh menuduh, hujat menghujat, saling menghina antar sesama anggota masyarakat. Kalau kita perhatikan acara dialog di TV ONE, acara lawyerclub, setiap Selasa malam, perilaku salah menyalahkan dan membenarkan diri sendiri atau kelompoknya di pertontonkan kepada rakyat Indonesia, namun jalan keluarnya tidak dapat disimpulkan. Inilah cerminan kondisi masyarakat kita saat ini. Padahal yang hadir adalah para pakar di bidang hukum maupun bidang politik dan lain lain.

Ditahun politik 2014 ini, terlihat syahwat untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan, status, sedang mewabah di tengah tengah masyarakat, tidak peduli dengan biaya tinggi untuk mencapai kedudukan dan kemashuran. Memang hiasan  dari berbagai kelezatan dunia, adalah  kemashuran, kepangkatan dan kedudukan/status. Sebagai contoh, untuk anggota DPRD Provinsi Jambi dibutuhkan, 55 orang, sementara yang menjadi Caleg untuk lembaga tersebut mencapai 624, berarti akan gagal sebanyak 569 orang. Bagaimana  dengan 569 orang yang gagal nantinya, apakah mental sudah siap menerima kegagalan, yang tadinya sudah mengeluarkan biaya tinggi untuk mengkampanyekan diri kepada masyarakat. Itu baru untuk DPRD Provinsi Jambi, bagaimana dengan caleg DPR RI, DPRD Kabupaten dan Kota ?. Apakah statement Rumah Sakit Jiwa Jambi tersebut diatas sudah memperkirakan akan ada para caleg yang gagal terkena depresi saat  tidak terpilih di pemilu nantinya.

Gejala yang ada  sekarang ini, krisis kejiwaan ini tidak hanya pada masyarakat menengah keatas, tapi juga terlihat  dari berbagai lapisan. Istilah sekarang ke “galauan hati” banyak terjadi dari sikap dan perilaku anggota masyarakat.  seperti putus asa, kecewa, resah gelisah, rasa rendah diri, kesunyian, kekosongan hati, rasa kesepian, ketegangan perasaan.  Keadaan ini makin di perburuk dengan penyakit hati lainnya, seperti hasad, dengki, bakhil, gila dunia, pendendam, cepat marah, buruk sangka, sombong, riya’, ujub, dan lain lainnya. Masing masing warga masyarakat hidup dalam rasa tidak puas. Rakyat tidak puas dengan Pemimpin dan Pemerintah, orang miskin tidak redha dengan kemiskinannya, orang kayapun tidak puas dengan kekayaannya, dengan terus berusaha menumpuk kekayaan, baik secara halal maupun dengan cara haram. Bahkan ada bisikan iblis dalam bathin masyarakat “ yang haram saja mendapatkannya payah, apa lagi yang halal”. Na u’zubillah...

Dampak dari penyakit bathin ini  munculnya krisis moral dan achlak di tengah tengah masyarakat. Penyakit ini jauh lebih berbahaya dari penyakit fisik, Penyakit fisik tidak pernah membunuh diri dan membunuh orang lain. Tetapi penyakit bathin/kejiwaan, dapat menyebabkan manusia membunuh diri sendiri atau membunuh orang lain. Ternyata kejadian bunuh diri dan mebunuh orang orang lain akhir akhir ini memang sudah sering terjadi di tengah tengah masyarakata kita. Gejala penyakit  seperti ini memang sudah  tingkat gawat darurat, istilah kedokteran sudah pada tingkat Stadium IV.  Maka kekhawatiran  Bung Karno 63 tahun yang lalu, setelah 5 tahun merdeka, menyatakan bahwa kerusakan fisik dan material akibat warisan penjajah dapat diatasi dalam waktu dekat. Tetapi kerusakan moral akan lebih lama memperbaikinya, inilah yang kita rasakan sekarang ini. Penyakit kejiwaan jauh lebih berbahaya dari penyakit fisik. Sementara perhatian terhadap penyakit ini dibandingkan dengan penyakit fisik, pada kenyataannya perhatian dan keseriusan terhadap penyakit fisik lebih fokus. Dari segi sarana prasarana, maupun tenaga ahli, lebih banyak untuk melayani orang yang menderita penyakit fisik. Pada hal penyakit bathin/kejiwaan diperlukan perhatian dan perawatan yang tak kalah pentingnya, karena penyakit ini bukan hanya menyiksa diri sendiri, akibat lainnya adalah akan berdampak kepada kekacauan dari kehidupan bermasyarakat.

Ketika Nabi Muhammadi SAW datang ketengah tengah ummat manusia, melihat kekacauan dan kemungkaran yang sedang meracuni kehidupan masyarakat, yang semua nya itu adalah bersumber dari tidak berfungsinya hati nuarani dengan baik. Maka usaha pertama dari Rasulullah saw, adalah mengfungsikan hati nurani umatnya, yaitu hati yang disinari oleh akal dan keimanan.  Rasulullah saw mendirikan masjid, tempat dimana  manusia melatih dirinya agar mempunyai hati yang dicahayai oleh akal dan keimanan, melapangkan dadanya, melembutkan hatinya. melepaskan diri dari ikatan dunia, dengan membesarkan Allah swt, melalui shalat dan ibadah ibadah lainnya. Rasulullah mengutamakan keselamatan hati/bathin, bukan jasad lahirnya. Dalam Al Quran  33 ayat berbicara tentang “hati” begitu prisipnya menjaga hati agar tidak terkena penyakit bathin.

Buya Hamka mengingatkan dalam bukunya Falsafah Hidup, bahwa dalam keinginan mencari kedudukan/pangkat, menjadi pemimpin, dengan motivasi mengharapkan patungnya didirikan, makamnya di perbaiki, atau bintang disematkan didadanya, ini adalah niat yang keliru. Bekerja memimpin, mendapat kedudukan untuk mengurus bangsa/masyarakat banyak, bukanlah suatu pertolongan, tapi merupakan kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang yang hidup dalam masyarakat bangsanya. Insyaalah kalau niat ini yang tertanam dalam diri para caleg, mudah mudahan tidak akan ada caleg yang gagal akan terkena depresi setelah Pemilu nantinya. Wallahu a’lam

 

*) Penulis adalah  Ketua STIE Muhammadiyah Jambi/Pemerhati Kemasyaraktan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: