Petrokimia Bergantung Impor
![Petrokimia Bergantung Impor](https://jambiekspres.disway.id/foto_berita/default-image-wide.jpg)
JAKARTA - Pelaku usaha petrokimia meminta pemerintah lebih memperhatikan industri dalam negeri. Sebab, kapasitas produksinya saat ini berhenti di 3,9 juta ton per tahun. Padahal kebutuhan produk petrokimia di tanah air sudah mencapai 4,3 juta ton per tahun.
Ketua Indonesian Olefin and Plastic Industry Association (Inaplas) Amir Sambodo mengatakan, pelaku industri petrokimia tak punya pilihan selain mengandalkan pasokan dari luar negeri. \"Sebab, defisit pasokan di tanah air sudah mencapai 30 persen. \"Jika diambil angka rata-rata setiap tahun, nilai impor tersebut mencapai USD 8 miliar,\" ungkapnya di Jakarta kemarin (11/3).
Stagnannya produksi tersebut,lanjut dia, patut disayangkan. Sebab, negara-negara tetangga pun terus mendorong industri tersebut. Salah satunya, Malaysia yang sudah mencapai kapasitas produksi petrokimia hingga 4 juta ton per tahun. Negara trader Singapura pun sudah mendorong kapasitas hingga 9,8 juta ton. Diantara negara ASEAN, Thailand menjadi negara dengan kapasitas produksi petrokimia terbesar dengan 12,1 juta ton.
\"Kami mengapresiasi pemerintah yang sudah berencana membangun kilang baru. \"Kami harap kapasitas produksi petrokimia tumbuh 30 \" 50 persen dalam 3-5 tahun mendatang\" tambahnya. Indonesia juga berhasil menarik beberapa investasi untuk membangun pabrik petrokimia. Salah satunya, Honam yang beberapa kali menyatakan komitmennya. Investor tersebut sudah menyiapkan dana investasi USD 1,5 miliar untuk tahun ini. Total investasinya diperkirakan mencapai USD 6 miliar.
Selain itu, ada pembangunan oleo chemical oleh Unilever Oleochemicals Indonesia dan pembangunan SBR dan PBR plant oleh Synthetic Rubber Indonesia di Banten. Terakhir, proyek integrated petrochemicals and refinery plant\"oleh Pertamina dan PTT.
Namun, Amir menegaskan masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Salah satunya, pasokan bahan baku untuk memproduksi petrokimia yakni nafta dan kondensat. Saat ini, pelaku industri masih mengimpor. Meskipun ada bahan baku yang dihasilkan di Indonesia, pemiliknya lebih memilih mengekspor karena harga internasional yang lebih tinggi.
(bil/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: