Survei Pemilu Boleh Diumumkan pada Masa Tenang
JAKARTA - Masyarakat dipastikan bisa mengetahui hasil pemilu legislatif (pileg) pada 9 April mendatang lebih cepat. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan yang membatasi jam tayang hitung cepat (quick count). Begitu pula halnya dengan pembatasan pengumuman hasil survei pemilu pada masa tenang sebelum pencoblosan.
Dengan putusan tersebut, pengumuman hasil hitung cepat dapat dilaksanakan kapan saja. Tidak perlu menunggu dua jam setelah penutupan pemungutan suara di wilayah barat waktu Indonesia.
Putusan MK tersebut mengabulkan uji materi terhadap pasal 247 ayat 2, 5, dan 6; pasal 291; dan pasal 317 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. MK menganggap pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. \"Pasal-pasal tersebut kini tidak lagi memiliki kekuatan hukum,\" kata Ketua MK Hamdan Zoelva dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK kemarin (3/4).
Penggugat pasal tersebut adalah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi). Organisasi pimpinan Andrinof Chaniago itu merasa hak konstitusional lembaga-lembaga survei di Indonesia dirugikan oleh pasal-pasal tersebut.
Putusan itu mengulang putusan MK yang dibacakan pada 30 Maret 2009. Saat itu MK yang diketuai Mahfud M.D. menganulir pasal 245 ayat 2, 3, dan 5 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Pasal tersebut pada intinya melarang pengumuman hasil survei pemilu pada masa tenang dan membatasi penayangan hasil quick count paling cepat sehari setelah pemungutan suara.
Setelah UU tersebut diperbarui dengan UU No 8 Tahun 2012, pasal yang sama muncul lagi meski redaksi sedikit berbeda. Dalam UU baru, quick count boleh tayang paling cepat dua jam setelah penutupan tempat pemungutan suara (TPS). Selebihnya, isinya kurang lebih sama dengan UU lama.
Menurut hakim konstitusi Maria Farida Indrati, karena putusan serupa pernah dikeluarkan, pertimbangan yang digunakan juga mutatis mutandis (persis) dengan putusan sebelumnya. Salah satunya, pertimbangan pendidikan politik terhadap masyarakat.
Maria menyatakan bahwa survei dan hitung cepat merupakan suatu bentuk pendidikan, pengawasan, dan penyeimbang dalam penyelenggaraan negara, termasuk pemilu. \"Sejauh dilakukan sesuai dengan prinsip metodologi-ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang, pengumuman hasil survei tidak dapat dilarang,\" ujarnya.
Selanjutnya, dalam hal quick count, MK menganggap tidak ada data yang akurat yang menyatakan bahwa mekanisme tersebut mengganggu ketertiban masyarakat. \"Sebab, sejak awal, hasil quick count tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi,\" lanjut guru besar ilmu perundang-undangan Universitas Indonesia (UI) itu.
Meskipun bukan hasil resmi, kenyataannya banyak masyarakat yang menunggu hasil quick count begitu selesainya pemungutan suara di TPS. Masyarakat juga sudah memahami bahwa yang berlaku secara resmi adalah hasil penghitungan manual oleh KPU.
Hanya, ujar Maria, MK menggarisbawahi agar pemerintah membuat regulasi yang lebih jelas supaya pengumuman hasil survei tidak menguntungkan parpol tertentu. \"Semua tujuan hukum dan kepentingan yang hendak dilindungi tersebut dapat dicapai dengan penegakan undang-undang yang relevan dengan hal tersebut,\" ucap dia.
Dengan demikian, kata Maria, MK mendorong pemerintah membuat aturan lebih tegas soal survei pemilu. Bukannya membatasi waktu penayangan, melainkan mengatur agar survei yang dikeluarkan bisa lebih berimbang, sesuai realitas, dan tidak sampai menguntungkan parpol tertentu.
MK juga meminta lembaga survei benar-benar independen dan tidak memihak salah satu parpol peserta pemilu. Bagaimanapun, lembaga survei harus bertanggung jawab secara ilmiah maupun secara hukum dalam mengumumkan hasil survei maupun quick count.
Selain soal pengumuman hitung cepat dan hasil survei, MK memutuskan bahwa putusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dapat diajukan banding ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Putusan tersebut mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal 112 ayat 12 UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. \"Tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu,\" ujar Hamdan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: