Menakar Efektivitas UN (2-habis)

Menakar Efektivitas UN (2-habis)

 

Oleh : Almujahidin, S.Pd.I., M.Pd.I*

 

Ciri-ciri instrumen evaluasi yang baik. Para ahli telah merumuskan berbagai indikator yang harus dipenuhi oleh sebuah instrumen evaluasi yang baik. Muri Yusuf misalnya menetapkan lima indikator: valid, reliabel, norma, objektif, dan praktis.

Objektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (hal. 557) kata “objektif” ditulis dengan arti berkenaan dengan keadaan yang sebenarnya, tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Pengertian ini menunjukkan keterlepasan seseorang dari pengaruh ego-nya dalam melakukan sesuatu.

Merujuk kepada Kamus tersebut, maka istilah objektif dalam konteks instrumen asesmen dan evaluasi pendidikan dapat dimaknai dengan kemampuan sebuah instrumen untuk menilai sebuah objek secara apa adanya, tanpa dipengaruhi unsur-unsur dari luar. Artinya, sebuah instrumen dikatakan objektif ketika instrumen tersebut mampu menghadirkan skor atau diagnosis yang sama terhadap sebuah objek, kapan, di mana, dan oleh siapapun proses penilaian terhadap objek itu dilakukan. Sebagai contoh, dengan menggunakan sebuah instrumen tertentu seorang siswa berhasil mencapai skor 75 dalam ulangan Bahasa Indonesia dengan guru A. Pada hari berikutnya siswa tersebut diuji kembali dengan menggunakan instrumen yang sama dan mata pelajaran yang sama, tetapi dengan guru B. Hasilnya siswa tersebut berhasil mencapai skor 74. Pada hari berikutnya lagi, masih dengan instrumen dan mata pelajaran yang sama, siswa tersebut kembali dites oleh guru C. Hasilnya angka 75 untuk siswa tersebut. Fakta ini cukup menjadi bukti bahwa instrumen yang digunakan memiliki tingkat objektivitas yang cukup tinggi. Meskipun hasil yang diperoleh siswa mengalami sedikit perbedaan, namun perbedaan itu tidak signifikan, sehingga instrumen tersebut dapat dinyatakan layak untuk digunakan.

Praktis. Kata “praktis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (hal. 624) ditulis dengan arti berdasarkan praktek ; mudah dan senang memakainya; tidak sulit dilakukan (dikerjakan). Berdasarkan pengertian itu, kata “praktis” dalam asesmen dan evaluasi pendidikan menghendaki agar instrumen yang disusun itu mudah dilaksanakan dan semestinya tidak menjadi beban yang menyusahkan pemakainya. Mudah dilaksanakan dalam pengertian instrumen tersebut bisa diterapkantidak hanya oleh orang yang menyusunnya, tetapi juga oleh orang lain, mudah diadministrasikan, mudah di-skor, mudah diinterpretasi, serta mudah dipahami maksud dan arahnya oleh orang yang sedang dinilai dengan instrumen tersebut.

Tidak menjadi beban dengan maksud bahwa instrumen itu memang betul-betul hanya mengukur, menilai, dan menguji materi yang sudah dipelajari sehingga orang yang dinilai merasa bahwa instrumen tersebut menghendaki agar ia memanggil kembali semua pengetahuan dan ingatan yang sudah pernah ia ketahui, dan ini adalah proses yang menyenangkan. Tidak menjadi beban itu juga mengandung arti bahwa instrumen tersebut tidak membutuhkan biaya mahal sehingga akan menyulitkan penerapannya.

Ujian Nasional sebagai Instrumen Evaluasi Hasil Belajar. Bila pemahaman terhadap syarat-syarat instrumen yang baik seperti telah dijelaskan sebelumnya dikontraskan dengan pelaksanaan UN, maka terlihat bahwa pola UN sebagai salah satu bentuk instrumen asesmen dan evaluasi pendidikan belum memenuhi semua persyaratan ideal tersebut. Dalam konteks ini, tingkat pemenuhan UN terhadap syarat-syarat tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga tingkat : memenuhi syarat (norma) ; setengah memenuhi syarat (praktis) ; dan tidak memenuhi syarat sama sekali (valid, reliabel, objektif).

Dari segi norma. UN dikatakan telah memenuhi syarat karena telah menetapkan angka tertentu sebagai patokan dalam menentukan seorang siswa lulus atau tidak. Patokan dimaksud adalah nilai rata-rata dari semua Nilai Akhir paling rendah 5,50 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Makna dari penetapan patokan ini adalah bahwa siswa dinyatakan lulus dalam UN bila nilai rata-rata akhir yang diperoleh mencapai angka minimal 5,50 dengan catatan nilai paling rendah untuk setiap mata pelajaran adalah 4,0. Dengan demikian, bila perolehan nilai rata-rata akhir seorang siswa tidak mencapai angka 5,50 maka ia dinyatakan tidak lulus, meskipun nilai paling rendah setiap mata pelajaran yang ia peroleh lebih dari 4,0.

Dari segi praktis. UN dikatakan setengah memenuhi persyaratan praktis karena UN ternyata hanya memenuhi sebagian kriteria praktis, yaitu hanya mudah diinterpretasi dan diskor. Tetapi dari segi administrasi dan pelaksanaannya, ternyata UN sangat ribet. Buktinya, hampir selalu terjadi kekisruhan pada setiap pelaksanaan UN yang disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari keterlambatan distribusi, kekurangan soal, hingga kualitas cetak yang jelek, apalagi pada UN tahun 2013 yang lalu. Dari segi waktu proses UN juga memakan waktu terlalu lama, yakni sekitar 4 bulan, mulai dari penetapan DNT hingga pengumuman hasil kelulusan. Di sisi lain, UN ternyata menghabiskan biaya yang sangat besar hingga mencapai angka 545 milyar rupiah lebih untuk tahun ini. Sangat disayangkan dana sebesar itu hanya dibuang percuma untuk UN yang kontribusinya terhadap peningkatan kualitas pendidikan belum terasa sampai sekarang.

Dari segi persyaratan valid, reliabel dan objekif. UN dikatakan tidak memenuhi syarat sama sekali karena validitas yang ditunjukkan tidak mampu mengukur secara utuh dan komprehensif aspek dari kompetensi lulusan yang diminta. Faktanya adalah sering ditemukan siswa yang biasanya pintar dan juara di sekolah tetapi hasil UN yang dicapai tidak begitu memuaskan. Sebaliknya, sering pula ditemukan siswa yang di sekolah biasa-biasa saja atau bahkan selalu berada pada peringkat rendah tetapi nilai UN yang diperoleh tidak jauh berbeda atau bahkan berada di atas siswa yang biasanya pintar tadi.

Persyaratan reliabel juga tidak terpenuhi sama sekali karena reliabilitas itu ditunjukkan oleh konsistensi sebuah instrumen dalam mengukur suatu objek dalam waktu-waktu berbeda. Dengan demikian, tingkat konsistensi itu akan diketahui kalau instrumen tersebut sudah digunakan berulang kali untuk objek yang sama, dan ini tidak dilakukan dalam pola UN.

Sama halnya dengan syarat valid dan reliabel, persyaratan objektif juga tidak dipenuhi oleh UN karena dalam prakteknya objektivitas yang ditunjukkan seringkali bersifat semu dan rekayasa. Hal ini terjadi karena pola UN yang menyertakan nilai rata-rata rapor dan nilai UAS – yang kemudian dikonversi menjadi Nilai Sekolah – dalam  menentukan Nilai Akhir siswa membuka peluang bagi pihak sekolah yang ingin “menyelamatkan” siswa-siswinya.

(Guru MTsN Singkut Kabupaten Sarolangun dan calon Doktor di IAIN Imam Bonjol Padang).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: