Ekonomi Syariah dan Perlindungan Buruh

Ekonomi Syariah dan Perlindungan Buruh

Oleh : Suwardi., SE.Sy

 

Perbudakan Kaum Buruh

Revolusi industri yang diklaim oleh para sejarawan dunia dianggap sebagai titik tolak kebangkitan Eropa setelah berabad-abad lamanya tenggelam dalam masa kegelapan (the darkness), yang kemudian melahirkan fenomena-fenomena baru di tengah masyarakat. Di antaranya adalah, kelahiran kelas pemodal (baca: borjuis) yang merajai kaum buruh pekerja yang berada di sentra-sentara produksi pabrik. Di lain pihak, sistem feodalistik ini melahirkan kelompok masyarakat ekonomi pinggiran (baca: miskin), kelas pekerja (kaum proletar), yang kemudian diperbudak oleh kaum pemodal (borjuis). Sejak saat itulah, tenaga mereka (proletar dan miskin) diperbudak dan diperkerjakan layaknya mesin yang tiada henti untuk mengeruk keuntungan, bekerja dibawah kendali kekerasan dan paksaan yang merajalela dan diperlakukan secara tidak manusiawi layaknya binatang.

Jan Bremen  seorang sosiolog Belanda dalam karyanya Menjinakkan Sang Kuli (1977). Bremen mengobservasi nasib para buruh pada masa kolonialisasi yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia. Melalui riset terhadap dokumen-dokumen resmi pemerintah kolonial yang selama ini tersembunyi, ia memaparkan praktik biadab politik kolonial terhadap ribuan buruh atau kuli asal Cina, India, Jawa dan daerah-daerah lain di Sumatra yang dipekerjakan di perkebunan Sumatra Timur pada awal abad 19 hingga awal abad 20. Para kuli kontrak tersebut , tulis Jan Bremen - yang karena keberaniannya ia harus menanggung reksiko dituduh tidak menghargai prestasi bangsanya sendiri - jika dianggap bersalah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Mereka disiksa layaknya binatang, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang memilukan akibat imperialisme yang sudah menjadi bagian dari paradaban kapitalisme.

Dari paparan Jan Bremen dalam buku tersebut, dapat dengan mudah kita pahami, jika kaum buruh pada masa colonial Belanda, merupakan kasta terendah yang diperlakukan secara tidak manusiawi dan sangat menyayat hati setiap jiwa yang memiliki nurani dan pikiran jernih. Akan tetapi dalam perjalanannya, yang kemudian menjelma sebagai sebuah ideologi baru perlawanan terhadap kelas borjuis oleh kaum proletar yakni, memperjuangkan kelas social (class strunggle) agar tercapai kesamaan keududkan dan hak diantara para buruh (proletar) dan majikan (borjuis). Teori ini kemudian menjadi sebuah gerakan perlawanan di dunia terhadap kaum borjuis tersebut dipengaruhi analisis Karl Marx yang bercita-cita menghilangkan sama sekali kelas dalam masyarakat (masyarakat tanpa kelas).

Akan tetapi, ditengah perjalanan perjuangan perlawanan tersebut, menimbulkan dilema baru yang tak kunjung usai dalam hal perbudakan dan penindasan. Sebab, dengan tergantikannya kaum penindas (kaum borjuis) oleh kaum proletar, maka orang yang tertindas itu kemudian ganti menjelma menjadi kelas penindas baru, sebagai tindakan konservatif. Kondisi demikian ini laksana siklus yang tak kunjung menemukan muara keadilan yang berkelanjutan dan lepas dari penjajahan manusia (borjuis) yang berkuasa.

Akhirnya, perbudakan terhadap kaum buruh dari era kolonialisasi pasca revolusi Industri di Inggris tidak pernah berakhir hingga hari ini. Lihat saja di Indonesia yang katanya sebagai Negara terbesar di ASEAN dengan sumber daya alam yang melimpah ruah, tetap saja kaum buruh masih saja luput dari perhatian pemerintah yang cenderung dan senantiasa mempolitisasi kaum buruh dalam kontes politik nasional selama ini. Tetap saja, upah rendah, hak-hak buruh tergadaikan dengan perjanjian kontrak dan jumlah jam kerja yang tidak sebanding dengan upah yang diterima. Yang menyebabkan buruh laksana sapi perah kaum kapitalis-borjuis yang tidak ada pembelaan dan peran pemerintah untuk mengangkat derajat mereka (kaum buruh) dalam hidup yang layak, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka.

Kaum kapitalis-borjuis sebenarnya kian merajalela terhadap kaum buruh di Indonesia, ketika pemimpin negeri ini terkontaminasi dengan pemikiran secular yang tunduk dan patuh terhadap kepentingan kapitalis global yang secara tidak langsung merendahkan bangsa Indonesia sendiri. Sebab, Kapitalisme sebagai sebuah ideologi - memiliki aktivitas yang paling menonjol yakni mencari harta sebanyak-banyaknya dengan sebebas-bebasnya. Dengan demikian sampai saat ini pun aktivitas imperialisme dari ideologi kapitalisme belum berakhir, bahkan kian merajalela, dikarenakan ideologi kapitalisme menjadi ideologi tunggal pemerintahan di dunia, tak terkecuali di Indonesia, setelah khilafah Islamiyah dihancurkan Barat pada tahun 1924 oleh keputusan Mustafa Kamal At-tartuk.

Akhirnya, hiduplah kita dengan kehidupan di tengah kekuatan kapitalis global, yang menghendaki adanya upah buruh yang murah namun membukukan keuntungan yang besar, yang pada gilirannya, keluarga kita selaku buruh dipekerjakan tanpa imbal jasa yang seimbang, tidak ada kata sejahtera, pengusaha selaku kaum borjuis memiliki hak mutlak tanpa ikatan hokum yang suatu waktu dapat memberhentikan para kaum buruh tanpa mengeluarkan biaya pesangon. Jika demikian lengkap sudah penderitaan keluarga buruh di Indonesia, yang tidak pernah dihargai keringat mereka, tidak pernah dilindungi dengan UU yang menguntungkan mereka. Kenapa demikian ? pertama, karena pemimpin negeri ini mati rasa dan telah dikendalikan oleh kaum borjuis.

Kedua, dalam perspektif ekonomi konvensional buruh dianggap sebagai sumber daya yang dimiliki manusia yang digunakan dalam proses produksi, sehingga buruh adalah input atau faktor pengeluaran atau biaya produksi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kebijakan pemerintah yang menguntungkan kaum buruh di Indonesia dan juga sebuah konsep pembangunan ekonomi [Syariah] yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Melindungi Buruh, Perspektif Ekonomi Syariah

Perlindungan buruh yang masih terabaikan, dan padahal hal tersebut merupakan persoalan yang sangat sensitive dalam menghargai dan memanusiawikan buruh adalah persoalan upah. Dalam ekonomi Syariah, penentuan upah yang islami berasal dari dua faktor: objektif dan subjektif. Objektif adalah upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sedangkan subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan tenaga kerja. Selama ini ekonomi konvensional berpendapat, upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja. Namun ada sisi kemanusiaan yang harus diperhatikan pula. Misal, tata cara pembayaran upah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: ‘Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: