Hidup Bahagia Tanpa Riba

Hidup Bahagia Tanpa Riba

 

(Kritik Tim Kasser atas Konsep Bahagia Adam Smith)

Oleh : Suwardi., SE.Sy

 

Adam Smith, (1759:166) selaku Nabi para ekonom Kapitalis-Hedonis-Materialis, dalam kitab sucinya The Theory of Moral Sentiments mencoba mengaitkan antara kekayaan (wealth) dan kebahagiaan (happiness). Mendiang Adam Smith menulis kekayaan adalah alat untuk menjadi bahagia (wealth is a means of being happy).

Konsep kebahagiaan yang begitu vulgar secara psikologis kemanusiaan ini begitu mendapat di hati para pengikutnya di seluruh penjuru dunia. Bahkan dikemudian hari penggagas teori Populasi yang terkenal yakni Robert Malthus dalam karya monumentalnya An Essay on the Principle of Population (1798 dan 1966:303), mengungkapkan jika kekayaan sebuah Negara pada umumnya juga menjadi tolok ukur bertambahnya kebahagiaan warganya (to increase the wealth of a state tend also, generally speaking, to increase happiness).

Teori kebahagiaan tersebut menjadi dampak nyata bagi kehidupan di Negara modern belakangan. Sehingga, tidak terlalu salah jika kekayaaan menjadi alat dan tujuan utama dalam mencapai kekuasaan dan kekuatan yang dianggap berdampak kepada kehidupan nyata individu terhadap kultur social ekonomi masyarakat dunia yang lebih dihargai dan dihormati secara strata sosialnya.

Teori kebahagiaan yang diperoleh dari uang tersebut kemudian di abad ke- 18 mendapatkan legitimasi dari seorang Filsuf berkebangsaan Inggris, Jeremi Bentham (1843), dirinya mengungkapkan the most accurate of the quantity of pain or pleasure a man can be made ro receive. Dengan kalimat senada Bentham ingin menyampaikan jika uang adalah pengukur rasa sakit, bahagia, sehingga, memiliki banyak uang adalah sebagai indikasi memiliki kebahagiaan yang nyata.

Tidaklah mengeherankan dikemudian hari, bahkan sampai dengan saat ini, mayoritas individu menginginkan kekayaan sebagai upaya mencapai legitimasi kebahagiaan yang hakiki sebagaiamana diungkapkan oleh Adam Smith. Kondisi yang demikian menyebabkan keadaan secara psikologis orang-orang materialis cenderung mementingkan diri pribadi dan menjauhkan diri dari rasa empati dan kemitraan, yang akhirnya menjauhkan diri dari rasa kedermawanan dan hilang harmoni kehidupan dengan lingkungan sekitarnya (unity with nature).

Tidaklah mengherankan jika pada periode 80-an, di Indonesia struktur ekonomi tidak terlalu terjadi penampakan terhadap geliat ekonomi nasional yang dijalankan oleh para pemilik modal, orang kaya dan seterusnya, mereka lebih banyak menempatkan dananya di Bank-bank pemerintah dan swasta tanpa harus memutar modalnya, yakni dengan cara menempatkan dananya dalam bentuk deposito, dengan suku bunga yang tinggi. Sehingga tidak perlu bekerja secara keras, yang penting memperoleh imbal kekayaan dari suku bunga perbankan.

Akan tetapi, teori Adam Smith dan juga pengikut dan penerus sabdanya yang mengatakan jika kekayaan adalah sumber kebahagiaan ternyata terbantahkan oleh hasil studi dan penelitian oleh Tim Kasser dalam the high of Materialism. (2002:9), yang menyebutkan ketika uang menjadi tekanan utama dan tujuan hidup, alih-alih membawa kebahagiaan, uang malah mengatarkan pemujanya kepada petaka.

Salah satu upaya mencari kekayaan yang dilakukan oleh para materialis adalah dengan jalan menerapkan system dan konsep ekonomi ribawi yang pada hari ini, keadaannnya sangat merajalela dan telah memporak-porandakan system keuangan dunia yang dipicu oleh keberadaan suku bunga bank yang sudah memasuki taraf mengkhawatirkan dunia perekonomian global.

 

Bunga Bank, Materialisme dan Kekayaan

Ideologi materialisme yang berdasarkan gagasan bahwa materi, harta atau kekayaan merupakan tolok ukur mulia tidaknya seseorang. Semakin kaya seseorang berarti ia dipandang sebagai orang mulia dan semakin sedikit materi atau harta yang dimilikinya  berarti ia dipandang sebagai seorang yang hina dan tidak patut dihormati. Maka di dalam sebuah masyarakat yang telah diwarnai materialisme setiap anggota masyarakat akan berlomba mengumpulkan harta sebanyak mungkin dengan cara bagaimanapun, baik itu jalan halal, syubhat maupun haram.

Dalam sebuah masyarakat berideologi materialisme semua orang manjadi sangat iri dan berambisi menjadi kaya setiap kali melihat ada orang berlimpah harta lewat di tengah kehidupan mereka. Akhirnya, salah satu jalan pintas yang tidak menggerus tenaga dan pikiran oleh sebagian kalangan materialis, mereka menjadikan kekayaan mereka berasal dari upaya membungakan uang, baik dari sisi pinjaman perbankan, pinjaman individu maupun dalam bentuk lainnya, yang jelas aktivitas membungakan uang adalah salah satu unsure sesorang mengejar kekayaan yang dianggap kebahagiaan hakiki.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: