Mempertimbangkan Dwi Partai

Mempertimbangkan Dwi Partai

 

Oleh : Navarin Karim

Multy Partai semula merupakan pilihan masyarakat Indonesia dengan alasan agar kemajemukan masyarakat (plural society) dapat terwakili. Idiologi dan primordialisme  yang merupakan pencirian masyarakat Indonesia benar-benar sebagai tempat perlindungan masyarakat di partai. Dengan matinya idiologi dalam ranah politik, maka politik pragmatis tidak dapat dapat terelakkan lagi. Sebelum partai-partai menentukan arah koalisinya, masyarakat dibuat bingung dengan pergerakan (moving) dari elite-elite Partai. Berkunjung ke partai satu kemudian kemudian singgah ke partai lain ada yang langsung deal ada pula yang tanpa hasil sama sekali.  Ada partai yang bersifat menunggu dilamar seperti seorang gadis cantik, dan ada juga agresif seperti arjuna mencari cinta. Saking bingung mencari idaman yang ideal akhirnya melamar juga walaupun seorang janda ataupun bukan type idealnya. Namun adapula partai yang tetap jomblo sambil tetap melirik, siapa tahu ditengah perjalanan dinamika politik ia akan berubah sikap.

Itulah gambaran dan fenomena elite partai dalam mencari dan menentukan figure capres yang akan di dukung. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa partai-partai banyak yang gagal dalam mengimplementasikan idiologi partai. Hal ini disebabkan pengkaderan yang dilakukan tidak total dan khusuk, akibatnya kader partaipun kucar-kacir. Bagaimana tidak, kader partai yang merasa tidak cocok dengan pilihan koalisi elite partainya, merekapun hengkang dan menuju figure capres dan wapres yang lebih mengena dihatinya. Polemikpun terjadi, ada partai yang ingin memberikan sanksi terhadap kadernya. Sampai-sampai seorang salah satu cawapres membuat justifikasi dengan mengatakan soal pilihan kader yang tidak sesuai dengan pilihan partai, itulah adalah hak pribadi.  Pembenaran ini dilakukan karena adanya diskursus akan diberikan sanksi kepada kader yang membelok. Jika sanksi diberi terang-terangan  dan reaktif dapat berpengaruh terhadap nama baik partai tersebut. Sebenarnya penulis melihat substansinya hanya pada soal loyalitas. Loyalitas dapat diartikan bahwa : melaksanakan lebih dari yang diperintahkan. Berpedomanlah seperti orang Jepang, jika pilihan organisasi dan partainya gagal, mereka ada yang berani bunuh diri (hara-kiri). Tetapi karakter Jepang tinggal karakter Jepang. Sifat cuek (easy going) nampaknya lebih mengemuka bagi kalangan anggota partai di Indonesia demi memperoleh sesuatu yang diharapkan dan diimimpikan, itulah daya tarik kekuasaan.

Kompetisi dalam Percepatan mencapai Program.

Fakta menunjukkan setelah KPU pusat menutup pendaftaran akhir capres/cawapres, hanya ada dua capres/cawapres yang mendaftar yaitu Jokowi/Yusuf Kalla dan Prabowo/Hatta Rajasa.  Mana capres/cawapres yang lain dapat menjadi alternative lain bagi yang tidak setuju dengan dua calon pasangan yang sudah ada. Apa gunanya banyak partai, tapi miskin kader yang mumpuni  akan dipromosi. Padahal motivasi awal multi partai adalah untuk mengakomodir keanekaragaman perbedaan ras, agama atau suku bangsa. Multi partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik daripada dwi Partai. Namun dengan melihat pola koalisi yang terjadi sekarang telah mengabaikan idiologi, visi, misi dan jargon, maka penulis mewacanakan lebih baik dilakukan fusi partai saja dan hanya ada dua partai saja. Mengapa demikian? Pertama : mengingat visi dua kandidat   kurang lebih  juga sama. Yang satu akan mengimplementasikan Tri sakti, sedangkan kandidat yang satu lagi mempunyai visi menjadikan ekonomi, pertahanan dan kemandirian  pangan yang berdaulat ( bermartabat). Kedua : Mengingat kedua pasangan kandidat sama-sama didukung dari kalangan partai Islam dan Nasionalis. Yang menjadi pembeda hanya figure kedua pasangan kandidat saja. Jadi menurut penulis polanya sudah hampir sama dengan pola yang terjadi di Inggris terdapat  dua partai yaitu partai Buruh dan Konservatif.  Kedua partai boleh dikatakan tidak mempunyai pandangan banyak berbeda mengenai azas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umum tidak terlalu mengganggu kontinuitas dalam kebijaksanaan pemerintah. Perbedan yang yang pokok antara kedua partai hanyalah berkisar pada cara-cara dan kecepatan melaksanakan beberapa program pembaharuan yang menyangkut masalah social, perdagangan dan industry. Partai buruh lebih condong untuk banyak menggunakan pengendalian dan pengawasan dari pihak pemerintah, sedangkan partai konservatif cenderung untuk memilih cara-cara kebebasan berusaha. Disamping kedua partai tadi ada beberapa partai kecil lainnya, diantaranya yang penting adalah adalah partai leiberal.  Kedudukan partai ini relative sedikit artinya dan baru terasa jika kemenangan yang dicapai oleh satu partai besar hanya tipis sekali, sehingga perlu diadakan koalisi dengan partai liberal.

Merujuk dari dua pasangan kandidat pasangan capres dan cawapres yang maju ini, maka agar kita tidak terjebak dengan issue black campaignmaka kita berharap kedua pasangan ini lebih banyak melakukan debat kandidat dengan menunjukkan percepatan dari masing-masing kandidat dalam merealisir program-program yang sudah direncanakan. Sebagai pemilih tentu harus dapat menyimak secara seksama dan teliti mengenai teknis yang akan diajukan kedua pasangan kandidat dalam menggapai programnya. Mudah-mudahan kita semua setuju dengan diskursus penulis pada Pemilu yang akan datang kita menerapkan system dwi partai, mengingat telah matinya idiologi dalam domain politik di Indonesia.

------------------------

Penulis adalah Ketua Pelanta (NIA 201307002) dan Dosen PNSD dpk STISIP NH Jambi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: