Perangkap Kemiskinan Struktural

Perangkap Kemiskinan Struktural

 

Navarin Karim

Pernahkan anda di  Yogyakarta,  Surakarta, Kuala Tungkal (Tanjab Barat)  melihat banyak sekali masyarakat  mengandalkan mata pencahariannya dari menarik becak. Bahkan tak jarang kita melihat tukang becak tidur di becaknya sementara menunggu ada yang mau menumpang becaknya. Pekerjaan tersebut disamping tidak manusiawi (tidak nguwongke), juga menciptakan perangkap  kemiskinan.  Termasuk juga banyak tukang ojek yang harus antri menunggu penumpang di persimpangan jalan adalah bentuk-bentuk perangkap kemiskinan structural.

Ada lagi pekerjaan sebagai pelayan toko, kelihatan mereka necis diberi pakaian seragam, tetapi gaji mereka dibawah Upah Minimum Provinsi. Atau profesi sebagai guru/dosen yayasan yang kurang bonafide member kontribusi penghasilan pas-pasan (subsistence). Artinya untuk kebutuhan primer seperti makan, minum, pakaian mungkin terpenuhi, tapi mereka tidak punya simpanan (saving), karena uang diterima betul-betul habis untuk 30 hari kerja. Belum lagi kita melihat buruh bangunan, jika tidak ada yang mengajak dia bekerja untuk suatu proyek bangunan, maka ia tidak dapat penghasilan pada hari tidak bekerja tersebut. Termasuk juga dengan nelayan. Dia melaut kalau cadangan untuk yang dimakan di rumah sudah mulai menipis. Ada pepatah mereka yang tidak patut dicontoh : “isuk-isuk, tali-tali, besok-besok dan nanti nanti”.   Artinya dia mau kerja keras kembali kalau sudah keadaan terdesak, dan saving sudah hampir menipis. Demikian juga petani penyakap/petani yang tidak mempunyai lahan pribadi dan hanya lahan milik orang lain, belum lagi pemulung dan tukang minta-minta.   Orang-orang seperti ini sangat rentan masuk perangkap kemiskinan, apabila mereka dapat cobaan sakit, musibah kita tidak dapat bayangkan dalam situasi kehidupan yang serba komersil ini. Seandainya rumah sakit yang memberi bantuan BPJS kebetulan lagi penuh, apakah rumah sakit komersil mau menerima mereka? Bahkan ada pemeo yang mengatakan bahwa orang miskin tidak boleh sakit. Itulah potret aneka ragam pekerjaan yang membuat orang terperangkap kemiskinan.

Bagaimana dengan peranan Negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam hal ini? Apakah Negara telah bertanggung jawab penuh dalam hal ini? Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 secara tegas mengatakan bahwa : Tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.  Maka setiap 17 Agustus peringatan kemerdekaan Republik Indonesia selalu ada sindiran di media elektronik dan media massa yang  mengatakan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia belumlah berdaulat dalam makna sesungguhnya, karena mampu memerdekakan orang-orang miskin dan belum mampu memberikan penghasilan standar secara keseluruhan kepada masyarakatnya. Ini merupakan pekerjaan rumah  yang tidak pernah berakhir  (never ending goals) yang harus dicarikan solusi secepatnya dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Institusi pemberdayaan masyarakat memang sudah ada di pemerintahan, namun hanya segelintir orang yang mampu dientaskannya. Oleh sebab itu persoalan kemiskinan ini sebenarnya menjadi tanggung jawab kita semua terutama kepada pemilik capital bukan hanya mengeksploitir pikiran dan tenaga manusia, tanpa kemanusiaan memberi ala kadarnya kepada orang-orang yang dipekerjakannya. Pemilik capital yang mempunyai hati nurani harus memberi upah yang setimpal dengan pengorbanan/kontribusi yang diberikan buruh atau karyawan.  Jika omzet dan keuntungan perusahaan meningkat, maka harus ada efek menetes (trickle down effect) terhadap karyawannya. Jangan yang kaya sang pemilik capital saja yang menikmati peningkatan profit. inilah yang menyumbangkan kondisi yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Institusi pemberdayaan manusia juga harus lebih memotivasi bahkan mereka yang mata pencahariannya punya potensi perangkap kemiskinan diatas, mereka diundang dan di upgrade untuk berfikir kreatif dalam mengentaskan kemiskinan yang mereka hadapi. Mereka diajarkan bagaimana membangun jiwa kewirausahaan dan tidak hanya terpaku dengan pekerjaan yang digeluti sekarang tetapi tidak membuat yang significant dalam mendongkrak penghasilan yang diperoleh.  Misalnya nelayan pada waktu cuaca tidak baik, mereka tetap bekerja dengan melakukan usaha produktif sesuai keahlian tambahan yang telah dibekali oleh lembaga pemberdayaan/Balai Latihan Kerja. Kepada mereka yang punya potensi untuk dalam meningkatkan penghasilan jangang ragu-ragu dibantu oleh pihak perbankan, karena keahlian adalah investasi yang tidak ternilai dan pasti akan kembali. Ini dituntut study kelayakan yang maksimal harus dilakukan oleh devisi analisis kredit untuk mengakomodir usaha-usaha potensial yang patut diberi bantuan agar dapat lebih cepat tumbuh kembangnya. Dengan demikian maka struktur masyarakat kita akan dapat berbalik menjadi piramida terbalik, dimana yang miskin tidak lagi yang paling banyak, tetapi menjadi sedikit mungkin.

Keluar dari Perangkap Kemiskinan          

Penghasilan harus diproyeksikan ke depan untuk antisipasi pengeluaran yang besar, jadi jangan hanya puas dari apa yang dihasilkan sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh sebab itu harus punya keberanian (brave) untuk banting stir melakukan kegiatan wirausaha dan meninggalkan pekerjaan yang dianggap tidak punya masa depan (baca : madesu/masa depan suram). Lakukan kegiatan wirausaha yang sesuai keahlian yang dimiliki dan sudah melalui studi kelayakan yang tepat bahwa pekerjaan yang akan dilakukan tersebut betul-betul mempunyai prospek yang bagus. Kuncinya tinggal kerajinan, ketekunan dan ketelatenan dalam menggeluti pekerjaan tersebut. Siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan menuai keuntungan dimasa yang akan datang dan  pepatah minang telah mengingatkan kita  bahwa jika mau kaya, maka harus kuat berusaha.

--------------------------------

Penulis adalah Ketua Pelanta (NIA 201307002) dan Dosen PNSD Kopertis wil X dpk STISIP NH Jambi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: