Dolly Tamat Sudah
\"Sekarang sepi. Semalam paling banter hanya sepuluh orang. Padahal mau tutup,\" keluh Reni, seorang primadona yang ditemui di Wisma Barbara tadi malam. Perempuan asal Indramayu tersebut mengatakan situasinya berbeda pada dua tahun lalu, saat dirinya kali pertama datang ke Dolly. \"Paling sepi 15 orang,\" imbuh perempuan dengan tato di tangan tersebut.
Ketika ditanya soal rencana penutupan, Reni tergolong pasrah. Dia memilih untuk pulang, dan belum punya rencana untuk apa uang Rp 3 juta yang sedianya diberikan untuk modal usaha. \"Orang tua sudah perjalanan ke sini (Surabaya, Red),\" katanya. \"Tapi, saya ngakunya kerja di kafe,\" ucapnya, buru-buru menambahkan.
Reni juga menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir, pelanggannya terus menurun. Kalau ditutup, Reni mengaku tidak terlalu mempermasalahkan. \"Capeknya tidak enak. Karena nunggu tamu saja,\" ucapnya. Teman-temannya pun juga banyak yang memilih pulang kampung. Dari yang biasanya sekitar 60-an, Reni mengatakan bahwa tersisa tinggal 30-an saja.
Menurut seorang makelar yang mengaku bernama Toni, kebanyakan pelanggan sekarang berasal dari luar kota. \"Yang dari Surabaya sendiri jarang,\" katanya. Sejumlah isu dan perkembangan yang ada memang membuat pamor Dolly terus meredup. Mulai dari keberadaan 192 PSK yang mengidap HIV/AIDS dan masih bekerja, semakin variatifnya pelayanan di tempat prostitusi lain (seperti panti pijat), dan terakhir rencana penutupan yang didengungkan sejak tiga tahun lalu membuatnya terus menurun. Bahkan, banyak yang menyebut bahwa Dolly lama-kelamaan nasibnya seperti Kremil. Lama-lama makin sedikit, dan akhirnya mati sendiri.
Deklarasi penutupan ini menutup sejarah panjang lokalisasi yang diperkirakan sudah ada sejak lebih dari 40 tahun. Hingga kemarin, kapan pastinya Dolly berdiri dan bagaimana sejarahnya, masih banyak perdebatan. Namun, yang jelas berdiri pada 1970-an, pasca penggusuran warga stren Kali Jagir oleh Wali Kota Surabaya saat itu R. Soekotjo.
Para warga ini dipindahkan ke sebuah lokasi yang dekat dengan makam Tiongkok Kembang Kuning. Yakni, di kawasan Putat Jaya dan Girilaya. Karena kultur warga stren kali saat itu yang dekat dengan kemiskinan dan dunia \"bawah tanah\", maka pelacuran pun tumbuh. Lalu muncullah seorang PSK bernama Dolly. Ada dua versi mengenai PSK yang disebut-sebut masih punya darah keturunan Belanda tersebut. Yang pertama bernama Dolly Van Der Mart, dan yang kedua adalah Dolly Khavit. Apa pun namanya, dia mempunyai visi untuk tak hanya sekedar menjadi PSK. Dia kemudian mengorganisir teman sesama PSK-nya, dan muncullah wisma pertama di kawasan tersebut.
Kawasan tersebut terus berkembang, dan pada 1990-an hingga 2005, disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara dari wilayah dan jumlah PSK. Mengalahkan Phat Pong di Bangkok, Thailand, atau pun kawasan Geylang di Singapura. Pada masa jayanya, Dolly dihuni oleh lebih dari 9.000 PSK, dan hampir 100 ribu orang berkunjung tiap harinya.
Liputan investigatif Jawa Pos pada akhir 2004 menyebutkan bahwa uang berputar di sana mencapai Rp 5 miliar sehari, dan ada sekitar 15 ribu orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Mulai dari sopir taksi, penjual makanan, hingga warga setempat. Bahkan, sebagian aliran uang panas tersebut juga jatuh ke aparat. Mulai dari RT/RW, Satpol PP, polisi, hingga tentara.
Penelusuran Jawa Pos kala itu menyebutkan bahwa dari 56 wisma besar di Dolly saja, terkumpul uang kontrol sebesar Rp 7,5 juta per hari. Per bulan mencapai Rp 420 juta. Ini dengan asumsi tamu datang tiap harinya sekitar 1.500 orang. Sebuah perhitungan dengan asumsi jumlah tamu yang moderat.
Sekarang, belum jelas apakah uang tersebut masih mengalir ke aparat. Namun, bantuan untuk kas RT/RW dan kegiatan warga masih mendapat bantuan dari para pengelola wisma di Dolly. Tapi masa kejayaan tersebut tak bertahan lama. Terletak di tengah kota, membawa sejumlah ekses sosial dan kesehatan yang buruk (menjadi tempat awal prevalensi AIDS), Dolly menutup riwayatnya pada hari ini, 18 Juni 2014.
(shy/dor/las/yoc/ano)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: