Umbul-umbul

Umbul-umbul

Oleh : Navarin Karim

Umbul-umbul banyak muncul manakala ada kegiatan ceremonial, misalnya ketika hari ulang tahun Negara/organisasi, hari ulang tahun partai, pelaksanan Musyawarah Nasional, Musyawarah Daerah,  Rakor Nasional dan lain-lain. Umbul-umbul sebagai bahasa symbol, bahwa kegiatan yang dilakukan merupakan hajatan besar dan melibatkan peserta yang banyak. Umbul-umbul juga dapat meyakinkan pelanggan (customer), lihat saja manakala launching produk baru : umbul-umbulpun dipasang dimana-mana.

Namun dalam Negara sedang berkembang sering ditemukan struktur yang gemuk dan personalia yang banyak, kadang-kadang perannya tidak nampak sesuai dengan job description atau tupoksi yang telah ditetapkan. Pegawai banyak, tetapi yang mampu bekerja dapat dihitung dengan jari, sekedar politis seolah pemerintah mampu mengurangi pengangguran. Hanya sekedar meramaikan struktur dan personalia dalam organisasi lebih tepat kita gunakan terminology “sebagai umbul-umbul”. Pada masa Orba, kita mempunyai wakil Presiden, tapi wakil Presiden tidak mempunyai fungsi sebagaimana mestinya, baru setelah reformasi wakil Presiden mempunyai tupoksi yang benar-benar dilaksanakan. Bahkan pada periode 2004 -2009, pernah wakil Presiden mendapat julukan the real Presiden, karena melaksanakan tugas melewati batas wilayah wewenangnya. Secara umum tugas dan wewenang Wakil Presiden adalah : (a) Membantu Presiden dalam melaksanakan kewajibannya, (b) Menggantikan Presiden sampai habis waktunya jika Presiden berhalangan tetap, (c) Memperhatikan secara khusus , menampung masalah-masalah dan mengusahakan pemecahannya yang menyangkut bidang kesejahteraan rakyat. (d) Melakukan pengawasan operasional pembangunan.

Rais A. Khan dalam buku Sistem Politik Indonesia karangan Prof. Dr. Arifin Rahman (1998 : 23) mengatakan bahwa ciri Demokrasi tradisional atau modern dapat ditinjau dari spesialisasi dan budaya politiknya. Indonesia sebagai Negara sedang berkembang, demokrasinya dari tradisional menuju modern. Jika lembaga-lembaga yang  ada sudah terspesialisasi itu mencirikan demokrasi modern, namun harus di cek juga dengan budaya yang diterapkan, jika lembaga yang ada tidak melaksanakan tupoksi sebagaimana mestinya maka lembaga tersebut dapat dikatakan masih tradisional. Penulis menganalogikan lembaga yang terspesialisasi tapi belum berperan tersebut dengan istilah “lembaga hanya sebagai umbul-umbul, artinya hanya meramaikan struktur saja. Kalau ditanya apakah lembaga-lembaga demokrasi yang ada  di Indonesia sudah terspesialisasi ? Penulis berani mengatakan sudah terspesialisasi. Misalnya kita punya lembaga-lembaga Demokrasi:  seperti KPU, Banwaslu, Panwaslu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Kesbanglinmas. Tapi apakah lembaga-lembaga ini sudah benar-benar menempatkan kapasitasnya secara profesional dan netral? Ini berkaitan dengan budaya politik. Seperti KPU, Panwaslu dan Banwaslu apakah sudah benar-benar profesional dan netral dan punya nyali? Tentu kalau ada yang mengatakan sudah profesional dan netral serta punya nyali, tentunya masih banyak yang mempertanyakan alias masih bersifat skeptic.  Demikian juga dengan KPI/KPID  dan Banwaslu apakah berani menegur bahkan memberikan sanksi kepada stasion TV yang tidak netral. Buktinya TV one yang lebih berpihak  dan terang-terangan mengarahkan dukungan kepada calon Presiden Prabowo – Hatta. Sebaliknya TV Metro lebih berpihak dan terang-terangan memberikan dukungan kepada Jokowi-Yusuf Kalla, nyatanya dibiarkan saja walaupun aroma negative dan black campaign secara bebas diberitakan dan ditayangkan. 

Kasus Dinas Kebersihan dan Pemakaman.

Salah satu SKPD di Pemerintahan kota Jambi ada dinas yang bernama Kantor Kebersihan dan Pemakaman. Dinas ini memberi kontribusi besar terhadap kinerja Walikota, sehingga kota Jambi mendapat Adipura sebagai kota yang bersih. Memang secara kasat mata  di jalan-jalan protocol kelihatan bersih. Cuma penulis bertanya dalam hati, apakah tim penilai adipura pernah mengecek tupoksi Dinas Kebersihan dan Pemakaman? Kalau ini dijadikan penilaian mungkin batal Kota Jambi mendapat Adipura. Pasalnya sudah dekat dua minggu kita akan menjalankan puasa, tradisi masyarakat Jambi akan berkunjung ziarah ke pemakaman orang tua, anak, atau keluarga yang telah mendahului mereka, tidak dapat dielakkan. Penziarah mungkin akan focus sejenak untuk menemukan batu nisan yang menjadi obyek penziarahan karena tingginya rumput dan lalang.  Hal ini penulis alami sendiri ketika ingin menemukan makam orang tua di salah satu pemakaman yang ada di kota Jambi. Alangkah kagetnya penulis melihat rumput  dan lalang di pemakaman tersebut sudah setinggi badan laki-laki dengan tinggi normal antara 170-175 cm. Terpaksa pengunjung membersihkan pemakaman tersebut terlebih dahulu sehingga identitas makam dan batas dengan makam lainnya jadi jelas kembali. Penulis berfikir kenapa nama dinas kebersihan dan pemakaman ini tidak disederhanakan menjadi dinas Kebersihan  Sampah, karena tupoksi membersihkan makam tidak dilaksanakan sama sekali. Rekan saya dari komunitas Penulis Jambi (Pelanta) malah mengusulkan masalah kebersihan makam serahkan saja kepada Departemen agama dan didelegasikan kepada mesjid dan gereja ataupun Kelenteng untuk diberi wewenang membersihkannya, mengingat di setiap makam yang ada tidak bergabung dari berbagai agama. Gagasan ini menarik juga, sehingga mesjid lebih berfungsi dan mengenai  biaya kebersihan  dapat dialihkan kepada pihak mesjid, gereja atau kelenteng. Namun kegiatan ini tetap menjadi tanggung jawab dari Kantor Kementerian Agama. Ada adagium yang mengatakan  tanggung jawab tidak dapat didelegasikan (responsibility can not be delegated). Solusi lain adalah  tupoksi membersihkan makam tetap diserahkan kepada Kantor Kebersihan dan Pemakaman, namun staf dan pegawai di kantor Kebersihan dan Pemakaman kota perlu melakukan study banding terlebih dahulu bagaimana mengelola kuburan sehingga pemakaman kelihatan  tertata rapi dan bersih. Mereka dapat study banding ke kota Padang, Pakan Baru, Bandung atau Jakarta yang telah menata pemakaman secara rapid an bersih. Di SKPD juga punya lembaga pemberdayaan masyarakat, tapi kita masih banyak menemukan para penganggur dan pengamen yang belum diberdayakan, sehingga mereka mengemis dan mengamen di bis yang  membuat penumpang jadi terusik dengan mereka.

Sama juga dengan keberadaan staf ahli di beberapa pemerintahan provinsi yang ada di Indonesia, pertanyaan yang muncul adalah apakah staf ahli ini sudah berperan sesungguhnya memberikan masukan baik diminta maupun tidak diminta kepada Gubernur? Stigma masyarakat terhadap staf ahli ini, seolah sebagai tempat transit, jelang pegawai pensiun, sehingga penempatan personil nya sering kali tidak the right man on the right place. Penulis mengibaratkan lembaga sebagai umbul-umbul ini seperti kerajaan Inggris, mereka punya raja yang tidak punya peran utama dalam pemerintahan, tapi hanya sebatas menghadiri acara-acara seremonial, fungsi ini bisa saja digabungkan dengan topoksi Perdana Menteri, tapi ini tidak pernah dilakukan oleh Perdana Menteri karena mereka menganggap raja/ratu  diyakini sebagai pemersatu bangsa.

-------------------------------

(Penulis adalah Ketua Pelanta (NIA : 201307002) dan Dosen Kopertis Wilayah X Sumbar, Riau, Jambi dan Kepri).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: