Puasa Sejatinya Membentuk Karakter

Puasa Sejatinya Membentuk Karakter

oleh:  Bahrul Ulum

Dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi

 

            Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Seseorang dapat dikatakan  berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.

Saat ini disadari bahwa pembentukan karakter menjadi bagian utama yang dikedepankan oleh dunia pendidikan kita. Pembentukan karakter bangsa menjadi urgen mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, adat istiadat dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Karenanya dunia pendidikan tidak hanya menanamkan pengetahuan yang mutakhir, namun juga berupaya membentuk dan membangun sistem keyakinan dan karakter kuat setiap peserta didiknya, sehingga mereka mampu mengembangkan potensi dirinya. lembaga pendidikan formal bukanlah satu-satunya pihak penanggung jawab untuk membentuk karakter anak bangsa, tapi agama atau lembaga agama juga memiliki andil di dalamnya. Mengacu pada kebijakan nasional tentang pendidikan karakter bangsa, maka Kementerian Pendidikan Nasional telah menyusun desain induk Pendidikan Karakter. Konfigurasi karakter ditetapkan berdasarkan empat proses psikososial, yaitu olah pikir; dengan karakter utama cerdas, olah hati; dengan karakter utama jujur, olah raga; dengan karakter utama tangguh, dan olah rasa/karsa; dengan karakter utama peduli.  

Ritual Puasa Ramadhan

Fenomena yang tanpak oleh kita bahwa berakhirnya ramadhan, maka kita kembali menjalani hari-hari di luar ramadhan tanpa suasana dan semangat religius seperti yang dilakukan di bulan ramdahan, seolah ada jarak antara kehidupan religius dengan duniawi. Muncul pertanyaan di benak kita mengapa semangat religius yang begitu hidup dan semarak di bulan ramadhan kurang membekas pada muslim yang sudah menjalankannya usai ramadhan. Apakah kita sudah sungguh-sungguh menjalankan puasa itu atau hanya sekedar rutinitas ritual semata, tentu yang tahu hanyalah orang yang bersangkutan, karena ibadah yang satu ini benar-benar bersifat pribadi. Dalam hal puasa, inilah yang dimaksud Rasulullah ketika bersabda bahwa ada banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Meskipun demikian, semua ibadah selalu memiliki dimensi sosial, inilah yang mesti kita gali dan aktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dari Ritualisasi Menuju Aktualisasi

Ibadah puasa yang sedang dijalankan ini sejatinya  tidak cukup berhenti pada tataran ritual sesaat semata, ia mesti dapat kita aktualkan/hadirkan dalam suasana keseharian di manapun kita berada dan beraktivitas. Dengan menghayati dan menjalani ibadah puasa, seseorang sejatinya mampu mewarnai dan menebarkan benih-benih dan karakter kebaikan, kejujuran, keikhlasan, kepedulian dan kedamaian kepada lingkungan di mana dia berada. Jadi sulit rasanya kita menerima jika seseorang yang sudah menjalani puasa sebulan penuh dengan berbagai ibadah yang mengiringinya, namun masih akrab melakukan kemaksiatan dan penyimpangan sosial di masyarakat. karena itu bagaimana menjadikan nilai—nilai puasa itu sebagai sumber dan pilar pembentukan karakter? Inilah PR besar kita umat Islam. Apabila karakter tersebut berhasil kita hadirkan dalam kehidupan sosial, maka akan menghasilkan muslim yang baik yang memiliki  akhlak atau karakter yang mulia, dan di sinilah makna taqwa sebagaimana tujuan disyariatkan puasa akan kita raih.

Model pendidikan seperti ini sudah mulai dilakukan di sekolah-sekolah boarding school atau pesantren, di mana peserta didik dididik berbagai karakter  dasar, yang diawali dari panutan para guru-gurunya. Begitu juga dalam keluarga, harus ada didikan yang terus menerus pada anak-anak untuk membiasakan dan mempraktekkan karakter yang baik. Nilai-nilai agama yang sudah tertanam pada anak-anak mesti hadir untuk ikut menata tatanan kehidupan (living values) yang dijaga secara bersama. Karena itu di sini diperlukan lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang besar pada pembentukan karakter yang baik, begitu juga sebaliknya, lingkungan yang tidak baik akan membentuk  karakter yang tidak baik pula. Karena itu puasa kali ini hendaknya dijadikan momentum untuk memperbaiki niat ibadah yang sudah dilaksanakan, mengevaluasi kualitasnya, menyelami maknanya yang lebih dalam, lebih mutidimensional dan tentu saja senantiasa meningkatkan kualitasnya, agar nilai-nilai puasa yang sudah kita jalani sebulan penuh dapat kita raih hasilnya.  Sebagai penutup dan bahan renungan, kita perhatikan ungkapan pujangga Islam Mesir, Imam Syauqi Bey, yang mengatakan:
“Sesungguhnya eksistensi suatu bangsa terletak  pada akhlak / karakternya), jika akhlak/karakternya sudah hilang, maka pada hakekatnya telah hilang eksistensi bangsa tersebut”.  Wallahu A’lam

(Dosen Fak.Syariah IAIN STS Jambi/Pendiri Forum diskusi “Lembaga Studi Islam dan Kebangsaan (eLSIK).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: