Arfi dan Arie, Lulusan SMK yang Ahli Design Engineering Internasional
Tak lama kemudian, D-Tech menerima order pertama. Setelah mencari di situs freelance, mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat ukur dari pengusaha Jerman. Si pengusaha bersedia membayar USD 10 per set. Sedangkan Arfi hanya mampu mengerjakan desain tiga set jarum selama dua minggu.
”Kalau sekarang mungkin bisa sepuluh menit jadi. Dulu memang lama karena kalau mau download atau kirim e-mail harus ke warnet dulu. Modem kami dulu hanya punya kecepatan 2 kbps. Hanya bisa untuk lihat e-mail.”
Di luar dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si pemesan. Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan harga awal. ”Kami sangat senang mendapat apresiasi seperti itu. Dan itulah yang memotivasi kami untuk terus maju dan berkembang,” tegas Arfi.
Sejak itu order terus mengalir tak pernah sepi. Model desain yang dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku yang dipesan orang Selandia Baru sampai desain pesawat penyebar pupuk yang dipesan perusahaan Amerika Serikat.
”Pernah ada yang minta desain mobil lama GT40 dengan handling yang sama. Untuk proyek itu, si pemilik sampai harus membongkar komponen mobilnya dan difoto satu-satu untuk kami teliti. Jadi, kami yang menentukan mesin yang harus dibeli, sasisnya model bagaimana dan seterusnya. Hasilnya, kata si pemesan, 95 persen mirip,” jelasnya.
Selama lima tahun ini, D-Tech telah mengerjakan sedikitnya 150 proyek desain. Tentu saja hasil finansial yang diperoleh pun signifikan. Mereka bisa membangun rumah orang tuanya serta membeli mobil. Tapi, di sisi lain, capaian yang cukup mencolok itu sempat mengundang cibiran dan tanda tanya para tetangga.
”Kami dicurigai memelihara tuyul. Soalnya, pekerjaannya tidak jelas, hanya di rumah, tapi kok bisa menghasilkan uang banyak. Mereka tidak tahu pekerjaan dan prestasi yang kami peroleh,” cerita Arfi seraya tertawa.
Sayangnya, dari 150 proyek itu, hanya satu yang dipesan klien dalam negeri. ”Satu-satunya klien Indonesia adalah dari sebuah perusahaan cat. Mereka beberapa kali memesan desain mesin pencampur cat,” lanjutnya.
Meski punya segudang pengalaman dan diakui berbagai perusahaan internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa berkiprah di desain teknik Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya berijazah SMK.
”Kalau ditanya apakah tidak ingin membantu perusahaan nasional, kami tentu mau. Tapi, apakah mereka mau? Di Indonesia kan yang ditanya pertama kali lulusan apa dan dari universitas mana,” ujarnya.
Stigma ”hanya berijazah SMK” ditambah sistem pendidikan Indonesia yang dinilai kurang adil itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 di Teknik Elektro Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Arie tidak bisa masuk jurusan itu karena hanya lulusan SMK mekanik otomotif.
”Saya ingin kuliah di jurusan itu karena ingin memperdalam ilmu elektro. Kalau mesin saya bisa belajar sendiri. Tapi, saya ditolak karena kata pihak Undip jurusannya tidak sesuai dengan ijazah saya. Padahal, lulusan SMA yang sebenarnya juga tidak sesuai diterima. Ini kan tidak adil namanya,” cetus Arie.
Meski ditolak, Arie tidak kecewa. Bersama sang kakak, dia tetap ingin menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa. Dan itu telah dibuktikan dengan menjuarai kompetisi design engineering di Amerika yang diikuti para ahli dari berbagai negara. Selain itu, mereka tak segan-segan menularkan ilmunya kepada anak-anak muda agar melek teknologi 3D design engineering.
”Ada beberapa anak SMK yang datang ke kami untuk belajar. Sekarang ada yang sudah kerja di bidang itu. Ada juga yang bakal ikut kompetisi Asian Skills Competition sebagai peserta termuda,” jelasnya.
Mereka juga punya keinginan mengembangkan teknologi energi terbarukan. Salah satunya dengan mengembangkan desain pembangkit listrik tenaga angin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: