Terduga Teroris Internasional Dibekuk
JAKARTA - Aparat kepolisian membeberkan identitas tujuh terduga teroris yang ditangkap di Sulawesi Tengah, Sabtu (13/9) lalu. Empat orang di antaranya merupakan warga negara asing (WNA) asal Asia Tengah bersuku Uighur, namun mengaku dari Turki. Diduga, mereka datang ke Indonesia untuk bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso.
Hasil penyidikan sementara, temuan sebuah paspor Turki atas nama Ahmed Bozoglan dengan nomor TR-C 538250 dinyatakan palsu. \"Paspor itu mereka buat di Thailand,\" terang Kapolri Jenderal Sutarman di Istana Negara kemarin. Satu paspor dihargai USD 1.000.
Selain Bozoglan, tiga WNA lainnya adalah Abdul Basyit, Atlinci Bayram, dan Alphin Zubaidan. Mereka bergerak dari negara asalnya ke selatan, dan berlayar ke Kamboja. Dari Kamboja, keempatnya menggunakan jalur darat ke Thailand. Setelah mendapatkan paspor, mereka bergerak menuju Kuala Lumpur.
Dari Kuala Lumpur, mereka terbang ke Bandung untuk masuk Indonesia. \"Rutenya, dari Bandung, Makassar, Palu, lalu berlanjut ke Parigi sebelum ditangkap. Mereka hendak ke Poso,\" lanjut alumnus Akpol 1981 itu.
Hingga saat ini, keempat WNA itu masih dalam pemeriksaan penyidik Densus 88 di Jakarta. Mereka ditangkap di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) bersama tiga WNI yang diduga anak buah Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur.
Ketiganya adalah Saiful Priatna, 29, M Irfan, 21, dan Yudit Candra, 28. Saiful alias Ipul yang diketahui bekerja sebagai guru honorer di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Batia, Palu, Sulteng. Irfan bekerja sebagai petani, sedangkan Yudit alias Ican adalah sopir mobil rental. Mereka ditugaskan menjemput keempat WNA tersebut.
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, Ketujuh orang itu ditangkap lewat pengejaran seharian. Penangkapan itu berawal saat tim surveillance Densus 88 membuntuti sebuah mobil Toyota Avanza merah yang keluar dari sebuah rumah kos di jalan Banteng, kecamatan Touwa, Palu pada Jumat (12/9) tengah malam.
Setelah yakin jika mobil tersebut mengarah ke Poso via Parimo, tim langsung berkoordinasi dengan Polres setempat untuk langsung menggelar razia. Sweeping pun digelar di depan Mapolres Parimo sekitar pukul 02.00. Sweeping dipimpin Kapolres Parimo AKBP Novia Jaya. \"Begitu melihat ada razia, mobil itu langsung berbalik arah,\" terangnya.
Terjadilah kejar-kejaran antara polisi dengan ketujuh orang itu, dan setengah jam kemudian didapati mobil Avanza merah tersebut ditinggalkan di Kampung Marantale, Parimo. Polisi yang menyisir perkampungan mendapati tiga orang penjemput bersembunyi di rumah warga. Sementara, keempat WNA tersebut lari ke kawasan perbukitan.
Mereka akhirnya ditangkap sekitar pukul 15.30 WITA setelah polisi menyisir perbukitan di kampung Marantale seharian. Ketujuh orang tersebut lalu diinapkan di Mapolres Parimo, dan kemarin siang tiba di Mako Brimob Kelapa Dua Depok.
Boy menjelaskan, tidak banyak barang bukti yang disita oleh polisi. \"Kami menyita mobil Avanza, paspor atas nama Ahmed Bozoghlan kelahiran 9 Juli 1987, kompas, dan beberapa dokumen,\" terang mantan Kanit Negosiasi Subden Tindak Densus 88 itu. Salah satunya adalah tiket pesawat yang belum sempat dibuang.
Dari hasil pemeriksaan awal, keempat WNA tersebut diduga hendak bergabung dengan Santoso. \"Mereka difasilitasi oleh salah satu DPO kami, Mochtar, di Poso,\" tambahnya. Namun, motif sebenarnya dari kedatangan mereka masih belum terungkap. Kesimpulan awal polisi didasarkan pada temuan, jika para penjemputnya adalah anak buah Mochtar.
Sementara itu, keberhasilan Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri dalam melakukan operasi tangkap tangan terhadap tujuh orang yang terkait kelompok teroris Santoso, di Desa Marantele, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng), mendapat apresiasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, di samping apresiasi, penangkapan tersebut juga mengindikasikan gerakan radikal, khususnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) terus berkembang di tanah air.
Untuk itu, kemarin (14/9), SBY menggelar rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden. Presiden yang tidak lama lagi mengakhiri jabatannya itu sempat meminta maaf karena rapat digelar di hari libur, yakni Minggu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: