>

Gang Dolly Pengap

Gang Dolly Pengap

Namun juga ada kepalsuan; senyum dan tawa, rayuan dan gombal kepalsuan, patuh dan taat yang penuh dengan kepalsuan. Francisco Burzi mencatat bahwa lebih dari 90% prostitusi menyatakan mereka ingin keluar dari “Gang Dolly” sesegera mungkin tapi keputusan tidak berada di tangan mereka, di tangan pemegang supremasi kuasa.

Mengapa Harus Ditutup

Ketika lokalisasi sudah tersedia, maka bermunculanlah aktivitas bisnis lainnya yang sejalan dengan bisnis seks itu, perjudian, narkoba, penipuan dan sejenisnya.

 

Dampak lebih jauhnya adalah penyakit menular kelamin yang menakutkan, kriminalitas yang menggelisahkan, dan pelampiasan sementara problem yang dihadapi laki-laki dalam keluarga, kantor, bisnis dan sebagainya. Maka ringkasnya, komplekslah fungsi dari lokalisasi.

Karenanya untuk tujuan jangka panjang yang tidak politis, pendekatan hukum saja dengan menutup paksakan tidak cukup untuk menyelesaikan masalah prostitusi ini. Dia akan pengap, atau menjadi “bisul” yang siap pecah kapanpun dan dimanapun bagi laki-laki yang 3 % tadi. Perlu ada upaya lain dengan melihat aspek lain dari keberadaan “Gang Dolly” ini, dan tentu saja melibatkan orang lain, seperti akademisi.

Jalan Keluar Supaya Tidak Pengap

Apa yang dilakukan oleh sebagian laki-laki untuk menyelesaikan sementara problem yang dihadapi saudara sejenis kelamin itu tentu dianggap telah membantu oleh yang 3% tadi. Tetapi sudah sangat nyata bantuan ini mempuanyai dampak sangat buruk bagi dunia, sosial, lingkungan keluarga, kriminalitas, dan tentu akhirat (bagi yang beragama). 

 

Islam memberi dua jalan keluar, bersifat temporal dan permanen. Bagi yang tingkat kebutuhan tingginya tidak permanen, maka “Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak (HR: Ibnu Majah). Artinya, dalam kondisi darurat, seorang isteri sebijaknya mengerti kebutuhan suaminya. Tentu suami juga harus mengerti, masak kondisi darurat terus sepanjang waktu.

Sedangkan bagi yang tingkat kebutuhan tingginya bersifat permanen, maka Islam membuka pintu darurat permanen bagi sebagian dari 3% tadi dengan persyaratan tertentu.

Sebagai contoh, seorang suami dengan usaha sukses dengan zakat lebih dari Rp. 1 milyar/tahun. Karenanya mungkin setiap jenis kendaraan mewah yang masuk pasaran kotanya sudah dimiliki atau bisa dimiliki jika mau, sudah mengerjakan haji dan umrah berulang kali, makan selalu bergizi, sehat dan halal. Namun tetap saja kebutuhan yang tadi itu “sangat tinggi”. Begitu tingginya menimbulkan kekhawatiran yang melanggar agama. Maka Islam membuka pintu darurat: “...maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja...” (Q, 4:3).

Ini tentu saja hanya berlaku bagi Muslim yang percaya dengan rukun iman yang kelima, yaitu kitab-kitab Allah, diantaranya Al-Qur’an secara keseluruhan isinya. Kemampuan berlaku adilpun, dialah yang mengetahui dengan Tuhannya. Artinya, yang berbicara bukan logika nafsu saja, tetapi lebih dominan logika beragama.

Disamping itu, setinggi apa tingkat kebutuhan itu? Hanya dia dan Allah-lah yang mengetahui. Tetapi tentunya tidak salah, sekiranya menggunakan uji diteksi teknologi dengan bimbingan dokter. Sehingga keputusan untuk membuka pintu darurat tadi mempunyai pertimbangan pihak ketiga secara scientific. Bukan menjual ayat Tuhan untuk kepentingan sesaat saja.

Kesimpulan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: