>

Pengadilan Gagal Miskinkan Anas

Pengadilan Gagal Miskinkan Anas

KPK Kejar Pencabutan Hak Politik

JAKARTA - Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) kembali tak mampu memberikan efek jera dan memiskinkan koruptor. Hal itu yang tergambar pada putusan perkara Anas Urbaningrum. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu hanya divonis kurang dari dua pertiga tuntutan jaksa.

      Tak hanya itu, hakim juga mengkorting uang pengganti kerugian negara yang harus dibayarkan Anas. \"Menyatakan bahwa terdakwa Anas Urbaningrum terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berlanjut,\" ucap Ketua Majelis Hakim Haswandi.

      Anas juga dinyatakan terbukti melakukan pencucian uang secara berulang sebagaimana dakwaan kedua. Sementara Anas dibebaskan dari dakwaan ketiga yang juga terkait pencucian uang. Atas putusan itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana 8 penjara dan denda Rp 300 juta.

      Politisi asal Blitar itu juga diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 57.590.330.580 dan USD 5,261,070. \"Uang itu harus dibayarkan satu bulan setelah ada putusan hukum tetap atau diganti dengan penyitaan harta benda untuk dilelang negara,\" ujar Hakim. Jika harta Anas tak mencukupi, hukuman penjara ditambahkan dua tahun.

      Baik hukuman fisik maupun penggantian kerugian negara jauh dari yang dituntutkan jaksa KPK. Sebelumnya jaksa mengajukan tuntutan agar Anas dipenjara 15 tahun penjara, dengan denda Rp 500 juta dan membayar uang kerugian negara sebesar Rp 94.180.050.000,- dan USD 5.261,070.

      Yang mengherankan juga, majelis hakim menyatakan tak mengabulkan tuntutan pencabutan izin usaha tambang atas nama PT Arina Kota Jaya seluas 5 ribu \" 10 ribu hektare di kecamatan Bengalon dan Kongbeng di Kabupaten Kutai Timur.

      Hakim menilai, Anas tidak terbukti melakukan pencucian uang dengan membeli tambang tersebut. Padahal selama ini M. Nazarudin mengakui memiliki perusahaan tambang bersama Anas. Tak hanya itu Anas juga dinyatakan tidak terbukti melakukan pencucian uang dengan membeli tanah di Sewon, Bantul, seluas 280 m2 (senilai Rp 600 juta) dan seluas 350 m2 (senilai Rp 350 juta). Tanah-tanah yang selama ini diatasnamakan ipar Anas, Dina Zad, itupun harus dikembalikan.

      Putusan Anas itu juga diwarnai dissenting opinion dari dua hakim anggota yakni Slamet Subagio dan Joko Subagio. Mereka kembali membahas kewenangan jaksa KPK melakukan penuntutan pencucian uang sebagaimana diatus dalam UU No 8 /2010. Keduanya menilai jaksa KPK tak berwenang melakukan penuntutan pencucian uang.

      Pendapat tersebut selama ini memang kerap menjadi perdebatan. Namun sejauh ini sejumlah saksi ahli, termasuk mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menyatakan jaksa KPK memiliki kewenangan menuntut pencucian uang.

      Hakim yang menyatakan dissenting opinion itu anehnya juga menyebut Anas tidak relevan dijerat dengan pencucian uang. Dalam vonisnya, majelis hakim juga tak mengabulkan pencabutan hak dipilih dan memilih dalam jabatan publik.

      Tindak pidana korupsi yang menurut hakim terbukti dilakukan Anas antara lain terkait penerimaan uang total Rp57,59 miliar dan USD 5,26 juta. Uang itu antara lain berasal dari PT Adhi Karya, sebesar Rp 2,2 miliar. Uang tersebut untuk pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

      Anas juga dianggap terbukti menerima uang dari Permai Grup, perusahaan yang didirikan bersama Nazaruddin, untuk kepentingan persiapan pencalonan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Uang yang diterima Anas Rp 84.515.650.000,- dan USD 36,070

      Uang itu digunakan untuk pembayaran penyewaan apartemen Senayan City dan Ritz Carlton, biaya menghadirkan ratusan DPC Partai Demokrat di Hotel Sultan, biaya makan di restoran Peacook, pemberian uang saku untuk DPC, koordinator DPC, dan biaya entertainment. \"Uang itu juga untuk keperluan roadshow ke seluruh wilayah Indonesia dan deklarasi sebagai ketua umum di Hotel Sultan,\" ujar hakim. Penerimaan Toyota Harrier senilai Rp 670 juta juga dinyatakan terbukti. \"Majelis tidak sependapat jika pembelian itu dilakukan sendiri, sebab tidak ada alat bukti yang mendukungnya,\" ucap hakim Setio Jumadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: