Materialisme Ekstrim : Manusia Mati Rasa ?

Materialisme Ekstrim : Manusia Mati Rasa ?

Oleh : Suaidi Asyari*

Sejak beberapa tahun terakhir ini Provinsi Jambi,  Riau dan Palembang mempertontonkan panggung yang dapat dikatakan sebagai pertunjukan materialisme ekstrem. Sebuah prilaku ketika nafsu kebendaan dan kekayaan diyakini lebih penting dari pada martabat manusia.

Akibatnya, manusia kehilangan rasa apabila pemikiran, mata, telinga, dan hatinya tidak bisa merasakan kerugian, kesusahan, derita fisik dan batin orang lain. Nyawa melayang akibat usahanya dan kenyamanan perjalanan orang lain tergangu.

Menurut sejumlah kajian, materialisme, konsumerisme dan tindak kekerasan adalah saudara kembar tiga yang sering kali sejalan. Akibat nasfu kebendaan terjadi peningkatan prilaku konsumerisme. Keduanya ini bermuara pada muncul tindak kekerasan terstruktur (structural violence) (Sue McGregor, PhD, 2014). Consumerism . . . causes a remarkable increase of structural and interpersonal violence . (Konsumerisme menyebab peningkatan tindak kekerasan struktural dan interpesonal yang sangat luar biasa).

Sebab-Akibat

Kabut asap akibat pembakaran hutan di Riau, Palembang dan Jambi yang mengakibatkan lebih dari 40.000 orang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), Pneumonia atau radang paru-paru, Asma, Iritasi mata dan kulit (sumber berbagai media 2014). Puluhan penerbangan dialihkan dan digagalkan yang menimbulkan kerugian materi ratusan miliar rupiah. Mungkin juga ada diantara anggota masyarakat yang diam-diam stres akibat gagalnya rencana perjalanan untuk berbagai kegiatan bisnis, dinas atau kegiatan kekeluargaan masyarakat.

 

Air sungai Batang Hari yang keruh pekat sepanjang tahun akibat pengerokan PETI di hulunya di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Penulis tentu tidak punya ilmu yang cukup untuk memprediksi penyakit apa yang diderita para peminum air sungai Batang Hari setelah sekian tahun ke depan.  

Kemacetan dan kerusakan jalan yang begitu cepat akibat muatan truk batu bara melebihi kemampuan daya tahan jalan, menyeruduk rumah penduduk atau pengguna jalan lain akibat sopir mengantuk, tergeletak rusak, patah as dan terjungkir di pendakian akibat kelebihan muatan, berjalan dan parkir berderatan panjang yang memicu kepamacetan panjang di sejumlah ruas jalan. Hanya orang-orang nekat saja yang berani mendahului ketika sejumlah truk berderet panjang yang tidak memberi cukup ruang jarak antara satu truk dengan lainnya.

Itulah realitas materialisme ekstrim dimana orang lain menjadi tidak lebih penting di banding dengan uang yang mau kita rau. Kita tentu tidak mempunyai perkalian seberapa banyak pajak yang dibayar dibandingkan dengan kerusakan jalan, rasa cemas, nyawa yang melayang, dan ketidaknyamanan lainnya, yang tentu tidak bisa dinilai dengan uang saja.

Barangkali bagi yang beragama Islam perlu melihat firman Allah \"Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali (sadar).\"(Ar-Rum:41).

Dalam narasi teguran Allah terhadap umat terdahulu Al-Qur’an menyatakan “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).

Realitas Agak Aneh: Mati Rasa?

Sudah begitu lama realitas di atas terjadi. Namun penjaga keamanan, penjaga Undang-undang, kuli tinta, LSM dan para ulama serta tokoh adat dan masyarakat lainnya, kepala daerah Bupati/Walikota dan Gubernur, akademisi dan mahasiswa, semua bungkam tanpa mampu bersuara. Kalaupun ada yang bersuara sepintas, namun yang lainnya seolah tidak punya telinga atau tidak mampu mendengar dengan baik. Terkadang bersuara sebentar lantas bungkam seketika.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: