>

Majukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu

 Majukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu

   Dari hasil ngerumpi itulah, dia menemukan kendala apa saja yang belum diselesaikan di desanya. Perempuan yang sering dipanggil bu reje (panggilan kepala desa di Aceh) itu pun harus berkeliling desa untuk menanyakan siapa yang belum punya akta kelahiran dan KK. Upaya itu pun bukan sekadar tanda tangan.

   \"Saya ini punya kereta (sepeda motor, Red), tapi tak bisa naiknya. Jadi ya, kalau tidak diantar suami, ya bareng dengan saudara yang muhrim. Dari rumah-rumah warga, saya mencoba mengurus akta, tapi tak mudah,\" tutur dia.

   Asnaini mendapati, banyak perempuan di desanya yang sudah menikah, lalu bercerai. Tapi, mereka tidak atau belum mendapat surat cerai meski mantan suami sudah menikah dengan orang lain. \"Begini ini yang susah,\" terangnya.

   Bukan hanya soal kaum perempuan, istri Mirzan itu juga terus mencari tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat desanya. Salah satunya listrik. Dia mengalirkan listrik ke Dusun Luwang pada 2012. Dusun tersebut belum teraliri listrik karena letaknya cukup jauh dari ibu kota kabupaten, yakni Takengon.

   \"Saya dengar curhatan mereka yang bilang belum dapat listrik sejak merdeka. Saya langsung undang sekretaris daerah untuk melihat kondisinya. Tak lama kemudian langsung dipasang,\" terangnya.

   Memang tidak mudah menjadi Asnaini. Di antara sekitar 295 kepala desa di Kabupaten Aceh Tengah, dia menjadi satu-satunya kepala desa perempuan. Hal tersebut sontak membuat orang yang tak tahu kaget. \"Saya memang suka ikut seminar dan pelatihan. Karena saya tahu ilmu SMA saja tidak cukup. Sampai pelatihan listrik pun saya ikuti. Jadi, kalau ada peserta perempuan, orang-orang tahu itu dari Pegasing,\" jelas perempuan yang menjadi kepala desa sejak 2011 tersebut.

   Apalagi, adat Aceh masih sangat ketat terhadap tingkah laku perempuan dan laki-laki di masyarakat. Salah satunya soal sumang. Sumang adalah tingkah laku yang tidak pantas antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya sumang penengonen\"yang menandakan perbuatan yang tidak enak dilihat atau tidak layak untuk dikerjakan.

   \"Di desa saya, kalau misalnya ada laki-laki dan perempuan duduk bersebelahan ataupun sekadar memberi salam, itu disebut sumang. Saya sering dengar kabar bahwa masyarakat membicarakan itu. Meski belum ada yang langsung bicara ke saya,\" terangnya.

   Apalagi, lanjut dia, pemimpin perempuan belum bisa diterima secara penuh. Terutama oleh kaum pria yang sudah terbiasa menjadi pemimpin di daerah itu. Bahkan, dia sempat digugat untuk turun jabatan pada Juli 2013. Asnaini diminta lengser dengan dugaan pelanggaran aturan dan adat.

   \"Pertama ya karena sumang. Kedua, katanya raskin (beras miskin) dan inventaris desa yang saya kelola. Ketiga, saya tidak mau tanda tangan dana gapoktan (gabungan kelompok tani). Dan beberapa pasal lagi. Totalnya, saya digugat dengan sembilan pasal,\" lanjut dia.

   Perempuan yang sejak lahir hidup di Desa Pegasing itu sempat kaget. Sebab, gugatan yang ditembuskan hingga DPRD kabupaten itu memuat 270 tanda tangan warga desa. Itu sudah lebih dari setengah jumlah warga yang sekitar 500 jiwa. \"Waktu saya tanyakan, warga yang tanda tangan itu mengira untuk mendapat bantuan. Mereka tidak membaca bahwa itu tanda tangan untuk menggugat saya,\" ungkapnya.

   Mendengar informasi tersebut, Asnaini memilih diam. Dia memutuskan untuk menunjukkan kondisi lapangan kepada tim penyidik. \"Jadi, sewaktu ditanya soal raskin, saya hadirkan tiga kepala dusun saya. Soal inventaris, saya hadirkan kelompok pemuda. Dan soal gapoktan, saya memang tidak mau tanda tangan karena dananya sebagian besar bukan untuk warga saya, tapi warga luar desa,\" terangnya.

   Asnaini pun menegaskan, menjadi pemimpin perempuan bukan berarti dirinya tak menghormati adat sukunya. Sebagai masyarakat suku Gayo, dia mengaku terus berusaha melestarikan adat istiadat. Dia pun berencana menganggarkan dana desa untuk menyediakan pakaian adat yang bisa dikenakan saat upacara.

   \"Sewaktu diminta oleh warga, saya sebenarnya menolak. Karena saya sendiri tidak mau meninggalkan tugas sebagai ibu rumah tangga. Sesuai adat, warga pun meminta restu dari suami saya. Baru setelah saya mendapat dukungan dari suami, saya sanggupi,\" tutur ibu tiga anak itu.

   Meski menghormati budaya, Asnaini tetap menyimpan impian untuk memperkuat posisi perempuan. Terutama janda-janda di desanya. Menurut dia, stigma janda sebagai penggoda rumah tangga masih kuat. Karena itu, dia berusaha memperkuat ekonomi perempuan yang ditinggal suami tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: