>

Bank Mutiara Tunggu Kabinet Baru

Bank Mutiara Tunggu Kabinet Baru

JAKARTA - Selain menunggu fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penjualan PT Bank Mutiara Tbk (BCIC) juga masih menanti restu presiden. Sayangnya, hingga kini menteri keuangan pada kabinet baru belum terbentuk. Padahal, menteri keuangan merupakan nakhoda forum koordinasi stabilitas sistem (FKSSK) yang menangani persoalan eks Bank Century tersebut.

       Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, setiap saat pihaknya harus melaporkan dan meng-update penjualan Bank Mutiara kepada presiden. Hal ini untuk menjaga transparansi transaksi. \"FKSSK akan ketemu presiden setelah kabinet terbentuk. Kami menunggu menteri keuangan yang baru,\" ungkapnya di Hotel Grand Hyatt kemarin (23/10).

       Sebagaimana diwartakan, rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) PT Bank Mutiara Tbk (BCIC) menyetujui akusisi 99,996 persen saham yang dilakukan J Trust Co Ltd, perusahaan investasi asal Jepang. Bekas Bank Century ini kemungkinan hanya laku Rp 4 triliun hingga Rp 5,6 triliun. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan harga penyelamatan yang mencapai Rp 8,01 triliun.

       J Trust saat ini telah mentransfer 10 persen dari total dana akuisisi. Pembayaran dilakukan melalui PT BNI Tbk cabang Tokyo. \"Sebelum 21 November sudah closing (selesai pembayarannya). Secara teknis Bank Mutiara punya pemegang saham baru tidak boleh lebih dari 20 November,\" ungkap Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho.

       Di lain pihak, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan, pihaknya akan memanggil J Trust untuk melakukan uji fit and proper test. Menurut dia, OJK telah menerima laporan rencana akuisisi Bank Mutiara.

       Kata dia, regulator bakal menganalisis laporan J-Trust, serta meminta rekomendasi dari otoritas di Jepang. Pihaknya akan meminta pemaparan rencana bisnis J Trust pasca mengakuisisi Bank Mutiara.

       \"Kami akan menanyakan Bank Mutiara akan diapakan (selanjutnya). Kemudian mereka harus menjaga rasio kredit bermasalah,\" tuturnya. Muliaman memastikan, proses fit and proper test akan diselesaikan sebelum 21 November 2014.

       Sementara itu, OJK kembali mengimbau perbankan untuk berfokus pada upaya financial inclusion atau inklusi keuangan. Hal ini mengingat penetrasi akun bank masih minim.  Muliaman menekankan, pada dasarnya inklusi keuangan tidak hanya dalam hal pemberian kredit atau pembiayaan mikro.

       \"Namun lebih luas dari itu. Inklusi itu misalnya membuka akses di pasar-pasar baru khususnya kepada masyarakat yang unbanked. Kalau cuma dikasih kredit, nanti bisa disalahgunakan,\" ungkapnya.\"

       Dia menegaskan, bahwa bank seharusnya fokus terhadap program inklusi keuangan. Misalnya dengan mengembangkan talenta-talenta yang betul-betul serius, sehingga program bisa sustainable atau berkelanjutan. \"Dengan begitu, perlu business model yang jelas dan fokus untuk membuka akses keuangan. Bank jangan setengah-setengah,\" ujarnya.

       Riset Mandiri Institue menujukkan, dari total populasi di Indonesia mencapai 249 juta jiwa pada 2013, masih terdapat 48 persen penduduk yang belum memiliki akses ke layanan keuangan. Selain itu, baru 20 persen masyarakat yang berusia di atas 15 tahun, memiliki rekening di institusi keuangan formal. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia yang 66 persen dan Thailand 73 persen.

       Untuk mendorong akses keuangan melalui penetrasi jumlah akun bank di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia, pihaknya tengah menggodok aturan tentang branchless banking. Saat ini proses pembentukan peraturan tersebut dalam tahap legal drafting. \"Kita jangan kalah dengan Tiongkok yang penetrasi akun banknya mencapai 90 persen dari total penduduk. Atau di Bangladesh yang memiliki lebih dari 100 ribu agen (branchless banking),\" terangnya.

        Advisory Board Chairman Mandiri Institute Darmin Nasution menyatakan, akses layanan keuangan yang rendah menyebabkan konstribusi sektor finansial pada pertumbuhan ekonomi Indonesia juga rendah. Hal ini terlihat dari rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 36 persen. Masih jauh dibandingkan Malaysia 122 persen, dan Thailand 103 persen. Sedangkan rasio simpanan atas PDB tercatat 39 persen, lebih rendah ketimbang Malaysia yang 147 persen.

(gal/oki)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: