>

Asing Kuasai 37,78 Persen Pasar SBN

Asing Kuasai 37,78  Persen Pasar SBN

JAKARTA-Investor asing menguasai 37,78 persen pasar Surat Berharga Negara (SBN). Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan hingga kemarin, total kepemilikan asing di pasar sekunder domestik SBN mencapai Rp 459,55 triliun.  Artinya, dalam waktu sepekan saja, porsi kepemilikan asing di SBN meningkat 0,22 persen atau lebih dari Rp 11 triliun sejak 29 September lalu. Proporsi ini tercatat sebagai yang tertinggi sejak Desember 2012 yang mencapai 32,98 persen.

                Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto mengatakan, appetite bond investor asing yang tinggi di satu sisi menunjukkan konfidensi dan kepercayaan tinggi terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Namun, di sisi lain, kepemilikan asing yang tinggi tersebut menimbulkan risiko tinggi bagi stabilitas moneter dan sistem keuangan Indonesia.

Apabila terjadi sentimen negatif global sehingga dana panas itu mengalir lagi ke luar sistem keuangan domestik (capital outflows), akan terjadi penurunan nilai tukar Rupiah dan turbulensi pasar keuangan dalam negeri. \"Porsi kepemilikan asing di SBN) hilang separo saja sudah bisa membuat keguncangan yang luar biasa di pasar,\" terang pria kelahiran Lampung ini dalam Editor\"s Forum di Jakarta kemarin (5/11).

                Risiko semakin besar karena terjadi tren kenaikan utang luar negeri. Saat ini, utang pemerintah tercatat USD 123 miliar, sementara utang sektor swasta mencapai USD 156 miliar. Selain itu, terdapat pula tren peningkatan primary balance deficit yakni pembayaran bunga utang luar negeri dengan menggunakan utang luar negeri baru.

                Apalagi, pemerintah selama lima tahun terakhir juga gemar melakukan pembiayaan terhadap defisit anggaran dengan menerbitkan surat utang di pasar modal. Pada 2009, penerbitan surat utang pemerintah mencapai Rp 979 triliun, melonjak menjadi Rp 1.918 triliun pada 2014.

                \"Di sisi lain, defisit untuk pembiayaan subsidi meningkat dari Rp 138 triliun pada 2009 menjadi Rp 403 triliun pada 2014. Sebagian besar untuk subsidi energi,\" terang mantan dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu ini.

                Kerentanan-kerentanan tersebut dapat memicu krisis yang berdampak sistemik terutama saat kondisi makroekonomi dan situasi politik sedang tidak kondusif. \"Utamanya bila pengawasan oleh OJK tidak optimal dan koordinasi dengan otoritas lainnya (Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan) dalam pencegahan krisis tidak berjalan baik,\" terang alumni UGM ini.

                Rahmat menilai kondisi itu menyebabkan kebutuhan terhadap OJK yang mampu melakukan pengawasan sektor keuangan terintegrasi antara pasar modal, perbankan, dan industri keuangan nonbank sangat tinggi. Apalagi, saat ini Indonesia belum memiliki UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang dibutuhkan pada saat krisis di sektor keuangan.

                \"Siapa yang berhak menetapkan kondisi krisis dan melakukan manajemen krisis? Kan berdasarkan pengalaman 2008 tidak cukup hanya KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan),\" katanya.

(noe)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: